Jakarta, CNBC Indonesia – Pengunduran kepemimpinan di Otorita Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yaitu Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe dari jabatan Kepala dan Wakil Kepala OIKN, belakangan ini menjadi perbincangan di masyarakat.
Bahkan, isu ini menjadi sorotan media asing. Agence France Presse (AFP) menyebut kedua figur tersebut mundur ketika proyek IKN belum mendapatkan investasi asing yang memadai.
“Presiden Indonesia telah mengganti Kepala Ibu Kota Negara yang baru, dalam sebuah perombakan yang mengejutkan hanya beberapa minggu sebelum proyek kontroversial senilai US$ 32 miliar tersebut resmi dibuka di Pulau Kalimantan,” ungkap laman AFP yang berjudul “Indonesia Replaces New Capital Chief Weeks Before Opening”, dikutip Minggu (9/6/2024).
Sebenarnya, rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan Ibu Kota ke Nusantara, Kalimantan Timur, telah diumumkan sejak tahun 2019. Salah satu alasan utamanya adalah untuk mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek.
Saat ini, Jakarta menghadapi masalah ekologis seperti penurunan permukaan tanah. Beberapa wilayah bahkan terancam tenggelam akibat penurunan permukaan tanah dan kenaikan air laut.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden juga menyoroti hal ini. Dalam pidatonya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS pada akhir Juli 2021, Presiden AS tersebut menyebut bahwa Jakarta terancam tenggelam akibat perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia.
Biden mengatakan, “Jika permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang yang bermigrasi, memperebutkan tanah yang subur… Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar bahwa, dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air?”
Faktanya, pernyataan Biden tidaklah tanpa alasan. Pada tahun 2019, World Economic Forum merilis daftar kota-kota yang berisiko tenggelam pada tahun 2100 jika tidak ada perubahan. Jakarta berada di peringkat pertama sebagai kota dunia yang akan tenggelam, diikuti oleh Lagos, Nigeria, dan Houston, AS.
Pada tahun 2021, Badan Antariksa AS NASA mengatakan bahwa meningkatnya suhu global dan mencairnya lapisan es menyebabkan banyak kota pesisir seperti Jakarta menghadapi risiko banjir dan luapan air laut yang semakin besar.
NASA mencatat bahwa kenaikan rata-rata permukaan laut global sebesar 3,3 mm per tahun dan intensitas hujan yang meningkat menyebabkan banjir menjadi hal biasa di Jakarta. Sejak tahun 1990-an, banjir besar telah terjadi di Jakarta dan pada musim hujan 2007, 70% wilayah terendam.
NASA juga mengunggah gambar landsat yang menunjukkan evolusi Jakarta dalam tiga dekade terakhir. Pembabatan hutan dan vegetasi di sepanjang sungai Ciliwung dan Cisadane serta pembangunan lahan buatan telah mengurangi kemampuan tanah dalam menyerap air, yang menyebabkan limpahan dan banjir bandang.
Selain itu, populasi Jakarta yang meningkat dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2020 telah menyebabkan lebih banyak orang berada di daerah banjir dengan risiko tinggi. Banyak saluran sungai dan kanal yang menyempit atau tersumbat juga rentan terhadap banjir.
Gambaran wilayah Jakarta pada tahun 1990 menunjukkan bahwa lahan buatan telah memperluas ke perairan dangkal Teluk Jakarta. Analisis data menunjukkan bahwa setidaknya 1.185 hektar lahan baru telah dibangun di sepanjang pantai.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
Heboh Status Jakarta Tak Lagi Ibu Kota, Istana Buka Suara
(wia)