Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Biaya Hidup (SBH) menyatakan bahwa biaya hidup atau konsumsi rata-rata per rumah tangga per bulan di Indonesia melampaui besaran upah minimum provinsi (UMP) di beberapa wilayah, termasuk DKI Jakarta.
Data SBH 2022 BPS mencatat bahwa biaya hidup di Jakarta mencapai Rp 14,88 juta per bulan, naik dari Rp 13,45 juta per bulan pada tahun 2018. Besaran SBH ini melebihi UMP yang pada tahun 2024 ditetapkan sebesar Rp 5.067.381, naik 3,6% dari UMP 2023.
Ekonom Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan bahwa fakta tingginya biaya hidup hasil survei SBH BPS dibanding UMP dapat berdampak terhadap perekonomian. Salah satu dampaknya adalah berkurangnya pendapatan yang siap dibelanjakan atau disposable income masyarakat.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menambahkan bahwa masyarakat dihadapkan pada pilihan ketika disposable income mereka turun, yaitu dengan menggunakan tabungan atau mencari utang.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa kredit macet pinjaman daring atau pinjol semakin meningkat. Di sisi lain, pertumbuhan tabungan atau dana pihak ketiga (DPK) per Oktober 2023 hanya naik 3,9% secara tahunan dan rasio simpanan terhadap pendapatan masyarakat per Oktober 2023 Indonesia sebesar 15,7%, turun dari periode yang sama tahun lalu 19,8%.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menekankan bahwa ketimpangan antara biaya keluaran dengan pemasukan akan sulit bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.
Bhima, Faisal, dan Ronny menyarankan dua solusi untuk menyelesaikan masalah ini, yaitu menaikkan upah minimum masyarakat sesuai dengan pengeluaran primer, sekunder, dan tersiernya, serta menekankan biaya hidup dengan cara stabilisasi harga, termasuk nilai tukar secara berkelanjutan. Mereka juga menekankan perlunya mengubah paradigma upah sebagai stimulus perekonomian.
Mereka berpendapat bahwa semakin tinggi upah kelas pekerja, semakin tinggi pula produktivitas mereka, dan implikasi ke ekonomi akan semakin tinggi. Oleh karena itu, penting untuk memandang upah sebagai stimulus perekonomian.