Ekonomi Rusia mengalami tekanan yang signifikan akibat stimulus fiskal besar, lonjakan suku bunga, inflasi tinggi, dan sanksi Barat pasca serangan ke Ukraina. Namun, Amerika Serikat (AS) muncul sebagai penengah setelah 3 tahun perang. Presiden AS, Donald Trump, turut mendorong kesepakatan cepat untuk mengakhiri konflik di Ukraina dengan memberikan pernyataan keras kepada Ukraina, yang dianggap sebagai penyebab utama perang tersebut. AS juga sedang mempertimbangkan pencabutan sanksi terhadap Rusia.
Menurut Oleg Vyugin, mantan wakil ketua bank sentral Rusia, Rusia saat ini berada di persimpangan yang sulit. Pilihan yang dihadapi adalah mengurangi pengeluaran militer untuk mencapai wilayah di Ukraina atau mempertahankannya dengan membayar konsekuensi berupa pertumbuhan lambat, inflasi tinggi, dan penurunan standar hidup yang berisiko politik. Meskipun pengeluaran pemerintah memicu pertumbuhan, penggunaan dana untuk kepentingan militer yang tidak produktif telah menyebabkan masalah ekonomi yang semakin memburuk.
Dalam situasi ini, negosiasi akhir diplomatis menjadi pilihan terbaik bagi Rusia untuk menghindari stagnasi ekonomi. Walaupun Rusia tidak bisa secara instan memangkas pengeluaran pertahanan, kesepakatan dengan AS dapat mengurangi tekanan ekonomi, melegakan sanksi, dan membawa kembali perusahaan-perusahaan Barat ke Rusia. Pasar Rusia juga merasakan efek positif dengan penguatan rubel dan prospek keringanan sanksi.
Namun, tantangan ekonomi lainnya masih menghadang Rusia. Perlombaan antara pengeluaran militer dan kebutuhan sivil, ditambah dengan inflasi yang tak terkendali dan suku bunga tinggi, menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang serius. Kegagalan dalam mencapai kesepakatan dengan AS dapat berdampak negatif pada kondisi ekonomi Rusia. Oleh karena itu, kerjasama dengan AS menjadi kunci untuk meringankan tekanan ekonomi yang saat ini dialami oleh Rusia.