Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, telah membuat janji untuk menerapkan kebijakan anti-AS yang paling keras. Pesan tersebut disampaikan selama rapat pleno Partai Pekerja yang berkuasa di Korea Utara. Kim Jong Un menyebut AS sebagai negara yang sangat reaktif dan menganggap anti-komunisme sebagai kebijakan negara paling mutlak. Dia juga menyoroti bahwa kemitraan keamanan antara AS-Korea Selatan-Jepang berkembang menjadi “blok militer nuklir untuk agresi.” Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih telah meningkatkan harapan untuk diplomasi tingkat tinggi dengan Korea Utara. Meskipun demikian, beberapa pakar berpendapat bahwa pertemuan antara Kim dan Trump tidak akan terjadi dalam waktu dekat karena fokus utama Trump saat ini adalah konflik di Ukraina dan Timur Tengah.
Kim Jong Un juga menegaskan tentang dukungan Korea Utara terhadap perang Rusia melawan Ukraina, yang disebut sebagai tantangan bagi usaha memulihkan diplomasi. Namun, Kim mengklaim bahwa strategi balasan anti-AS yang keras akan diluncurkan secara agresif demi kepentingan dan keamanan nasional jangka panjang. Belum ada rincian lebih lanjut mengenai strategi tersebut, namun Kim menekankan pentingnya peningkatan kemampuan militer melalui kemajuan teknologi pertahanan serta perlunya meningkatkan ketangguhan mental tentara Korea Utara.
Pertemuan sebelumnya antara Trump dan Kim bukan hanya mengakhiri retorika perang, tetapi juga mengembangkan hubungan pribadi. Meskipun sempat terjadinya ketegangan pada tahun 2019 terkait sanksi yang diberlakukan AS terhadap Korea Utara. Sejak itu, Korea Utara telah meningkatkan uji coba senjata untuk mengembangkan rudal nuklir yang lebih canggih yang dapat menargetkan AS dan sekutunya. Di sisi lain, AS dan Korea Selatan juga merespons dengan melakukan latihan militer secara intensif. Penilaian dari AS, Ukraina, dan Korea Selatan menduga bahwa Korea Utara telah mengirim lebih dari 10.000 tentara dan sistem senjata konvensional untuk mendukung Rusia dalam perang melawan Ukraina. Kekhawatiran pun muncul bahwa Rusia dapat memberikan teknologi senjata canggih kepada Korea Utara, termasuk bantuan untuk memperkuat rudal nuklir mereka.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memberikan perkiraan bahwa sekitar 3.000 tentara Korea Utara telah tewas dan terluka dalam pertempuran di wilayah Kursk Rusia. Data ini menjadi perkiraan pertama dari pihak Ukraina mengenai korban Korea Utara sejak mereka dikerahkan ke Rusia pada Oktober. Selengkapnya mengenai isu ini dapat dipantau melalui sumber berita yang telah disediakan.