Amerika Serikat (AS) mengumumkan koalisi 10 negara untuk “memadamkan” serangan rudal dan pesawat tak berawak (drone) Houthi di Laut Merah. Sebelumnya, kelompok pemberontak di Yaman itu, menyerang kapal-kapal yang diyakini hendak menuju Israel sebagai bentuk protes akibat perang di Gaza, Palestina.
Dalam pernyataan Senin waktu setempat, Inggris, Perancis, dan Italia termasuk di antara negara-negara koalisi. Ada pula Bahrain, Kanada, Belanda, Norwegia, Seychelles, dan Spanyol.
“Negara-negara yang berupaya menjunjung prinsip dasar kebebasan navigasi harus bersatu untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh aktor non-negara ini,” kata Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dalam sebuah pernyataan, dikutip AFP, Selasa (19/12/2023).
“Koalisi keamanan, akan beroperasi dengan tujuan memastikan kebebasan navigasi bagi semua negara dan memperkuat keamanan dan kemakmuran regional,” tambahnya.
Serangan Houthi memang telah meningkatkan sejak Oktober, sering meletusnya perang Israel ke Hamas di Gaza. Kelompok itu menyerang kapal tanker, kapal kargo dan kapal lainnya di Laut Merah, yang bisa membahayakan rute transit yang membawa hingga 12% perdagangan global.
Huthi mengatakan serangan sebagai solidaritas terhadap Gaza. Terbaru kapal Swan Atlantic milik Norwegia dan kapal lain yang diidentifikasi oleh Houthi sebagai MSC Clara mendapat serangan rudal kelompok ini.
“Telah melakukan operasi militer terhadap dua kapal yang terkait dengan entitas Zionis dengan menggunakan drone angkatan laut,” kata pejabat Houthi.
“Bersumpah terus mencegah semua kapal yang menuju ke pelabuhan Israel… berlayar di Laut Arab dan Laut Merah sampai lebih banyak makanan dan obat-obatan diizinkan masuk ke Gaza,” tambahnya.
Meski begitu, pemilik Swan Atlantic, Inventor Chemical Tankers dari Norwegia, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kapal tersebut membawa bahan baku biofuel dari Perancis ke Pulau Reunion. Inventor Chemical Tankers menegaskan tak ada kaitan dengan Israel dan dikelola oleh sebuah perusahaan Singapura.
Sabtu, AS diketahui menembak jatuh 14 drone di Laut Merah yang diluncurkan Houthi. Inggris mengatakan salah satu kapal perusaknya juga telah menjatuhkan drone yang diduga menyerang di wilayah tersebut.
Sebelumnya sejumlah operator kapal telah mengatakan tak akan melewati Laut Meran karena khawatir serangan Houthi. Setidaknya delapan perusahaan mengatakan itu, termasuk tiga yang terbaru adalah BP, Evergreen dan Frontline.
Raksasa minyak Inggris BP menangguhkan transit melalui Laut Merah Senin. Sementara perusahaan pelayaran Taiwan Evergreen mengatakan pihaknya segera menangguhkan pengiriman kargo Israel.
Frontline, salah satu perusahaan tanker terbesar di dunia, juga mengatakan pihaknya mengubah rute kapal. Di mana hanya akan mengizinkan bisnis baru yang dapat dialihkan melalui Tanjung Harapan di Afrika Selatan (Afsel).
Rute itu jauh lebih panjang dan menggunakan lebih banyak bahan bakar. Ini diyakini akan menimbulkan “kiamat” baru yakni menambah biaya operator dan bisa menaikkan harga barang di konsumen.
Serangan di Laut Merah juga memaksa perusahaan asuransi untuk menaikkan premi kapal secara signifikan. Transit melalui Terusan Suez akan dianggap berisiko tinggi.
Sebelumnya, perusahaan pengiriman Mediterania raksasa Italia-Swiss, CMA CGM dari Perancis, Hapag-Lloyd dari Jerman, Euronav dari Belgia dan A.P Moller-Maersk dari Denmark juga telah berhenti menggunakan Laut Merah sampai pemberitahuan lebih lanjut. A.P Moller-Maersk diketahui menyumbang 15% dari angkutan peti kemas global.
“Serangan tersebut telah menjadi krisis keamanan maritim dengan implikasi komersial dan ekonomi di kawasan ini dan sekitarnya,” kata analisis Verisk Maplecroft, Torbjorn Soltvedt.
Sementara itu, Juru Bicara Houthi Mohammed Abdul Salam permintaan mediasi Sudan disampaikan sejumlah pihak. Di antaranya Oman untuk melindungi pengiriman yang menggunakan jalur air tersebut.
“Di bawah sponsorship saudara-saudara kita di Kesultanan Oman, komunikasi dan diskusi terus berlanjut dengan sejumlah pihak internasional mengenai operasi di Laut Merah dan Laut Arab,” ujarnya di X.
Perang Gaza pecah ketika Hamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober. Ini menewaskan sekitar 1.140 orang dan menculik sekitar 250 orang.
Namun serangan Israel yang tanpa pandang bulu telah menewaskan lebih dari 19.450 orang di Gaza. Di mana sebagian besar perempuan dan anak-anak.