Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menanggapi kajian LPEM FEB UI yang memperkirakan potensi kegagalan Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045. Kajian tersebut terdapat dalam White Paper dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029.
Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki pilihan atau opsi untuk gagal menjadi negara maju pada tahun 2045. Meskipun dia mengakui bahwa ada potensi kegagalan jika pertumbuhan ekonomi stagnan pada tingkat 5%.
“Menurut perhitungan kami, jika pertumbuhan hanya 5%, kita tidak akan keluar dari middle income trap dan menjadi negara maju. Tetapi untuk menjadi negara maju sebelum tahun 2045, kita harus memiliki pertumbuhan rata-rata minimal 6% per tahun,” kata Amalia kepada CNBC Indonesia.
Pelaksana tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), yang akrab disapa Winny, menekankan bahwa meskipun kinerja perekonomian saat ini masih sekitar 5%, Indonesia tidak boleh mencari opsi lain untuk membiarkan Indonesia benar-benar gagal menjadi negara maju pada tahun 2045 dan hanya memperbaiki kelas menengah hingga akhirnya bisa maju pada tahun 2065, sesuai saran LPEM FEB UI.
Menurut Winny, Indonesia dapat kehilangan momentum untuk maju karena bonus demografi akan berakhir mulai tahun 2030. Hal ini tercermin dari rasio ketergantungan atau dependency ratio yang akan berada di bawah 50% hanya dalam 15 tahun ke depan. Rasio ketergantungan merupakan perbandingan antara jumlah penduduk usia 0-14 tahun dan usia 65 tahun ke atas, dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun.
“Jangan kita melewatkan momentum saat ini. Kita memiliki bonus demografi, jadi ada momentum emas yang harus kita manfaatkan. Jangan menunda cita-cita besar kita, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mencapai cita-cita tersebut dalam waktu kurang dari 20 tahun,” ungkap Winny.
Winny menegaskan bahwa pemerintah telah memahami bahwa Indonesia tidak akan bisa keluar dari middle income trap sebelum tahun 2045 jika pertumbuhan ekonomi hanya 5%. Oleh karena itu, sejumlah strategi transformasi seperti yang disarankan LPEM FEB UI dalam White Paper telah dirancang oleh pemerintah dalam RPJPN 2025-2045. Transformasi tersebut mencakup transformasi sosial, transformasi ekonomi, dan transformasi tata kelola.
Dalam agenda transformasi sosial, ditetapkan kebijakan untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dan merata, jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia, serta perlindungan sosial yang adaptif. Indikatornya termasuk nilai rata-rata PISA pada tahun 2025 untuk sains meningkat dari 416 menjadi 487 pada tahun 2045, usia harapan hidup meningkat dari 74,4 tahun menjadi 80 tahun, dan tingkat kemiskinan turun dari 6-7% menjadi 0,5-0,8%.
Untuk transformasi ekonomi, terdapat fokus pada pengembangan riset dan inovasi atau R&D, produktivitas ekonomi, penerapan ekonomi hijau, transformasi digital, integrasi ekonomi domestik dan global, serta pertumbuhan ekonomi di perkotaan. Indikatornya antara lain rasio PDB industri pengolahan meningkat dari 20% menjadi 28%, pengeluaran iptek dan inovasi meningkat dari 0,28% PDB menjadi 2,2-2,3% PDB, dan ekspor barang dan jasa meningkat dari 26% PDB menjadi 40% PDB.
Sementara itu, transformasi tata kelola dilaksanakan dengan menciptakan regulasi dan tata kelola yang berintegritas dan adaptif. Stabilitas ekonomi makro juga menjadi landasan transformasi, dengan indikator seperti rasio pajak terhadap PDB meningkat dari 10-12% pada tahun 2025 menjadi 18-20%, tingkat inflasi turun dari 1,5-3,5% menjadi 1-3%, dan total kredit per PDB meningkat dari 37,8% menjadi 80-90%.
“Mengejar cita-cita membutuhkan upaya keras. Ini harus menjadi upaya bersama dari akademisi, masyarakat, pemerintah, dan swasta. Jadi jika semua tahu dan yakin bahwa ini adalah cita-cita bersama, maka lebih mudah bagi kita untuk mencapainya dengan bekerja sama,” tegasnya.