Pengusaha Meminta Presiden Turun tangan Membatalkan Kebijakan Libur Bersama
Jakarta, CNBC Indonesia – Pengusaha meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turun tangan menghapus kebijakan cuti bersama atau menghapus libur untuk bidang usaha tertentu. Sebab, kegiatan ekonomi di bidang usaha tersebut memiliki efek domino yang bisa mengganggu kegiatan usaha lainnya.
Hal itu disampaikan pengusaha nasional merespons kemacetan parah yang terjadi di jalur menuju pelabuhan Tanjung Priok pada Rabu (15/5/2024) lalu.
Menurut JICT, kemacetan truk kontainer di Jalan Raya Yos Sudarso – Sulawesi dan Jampea Tanjung Priok sebagai dampak dari libur panjang di pekan sebelumnya.
“Pelabuhan Laut Tanjung Priok atau mana pun yang melayani impor dan ekspor seharusnya buka 24 jam 7 hari seminggu, tidak ada libur karena jadwal kapal luar tidak mengikuti waktu libur Indonesia,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (18/5/2024).
Karena itu, lanjutnya, perlu ada peraturan dari pemerintah agar tak ada libur bagi kegiatan usaha terkait pelayanan publik. Regulasi dimaksud, imbuh dia, cukup berupa Keputusan Presiden (Keppres).
“Keputusan Presiden saja, untuk pelayanan publik jangan pernah ada libur dan selalu buka 24 jam. Karena masyarakat tidak libur dari aktivitas sebagai manusia, petugasnya bisa diatur hari dan jam kerjanya,” ujar Benny.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan.
“Kemacetan ini efek libur panjang. Memang begitu. Libur panjang ini sebetulnya nggak perlu diberlakukan untuk sektor logistik. Karena begitu terhenti, lalu dibuka, jadinya menumpuk,” kata Gemilang kepada CNBC Indonesia.
“Di Tanjung Priok itu ada yang namanya closing time kapal. Jadi, kapal untuk ke luar negeri (ekspor) itu window-nya, dibukanya, hanya 5 hari. Artinya, 120 jam. Jadi, begitu dibuka, semua truk kontainer masuk ke kawasan dermaga Tanjung Priok itu ada waktu selama 120 jam. Nah, yang tadinya 5 hari, kemudian libur panjang, jadinya tersisa 2 hari. Kalau 2 hari kali 24 jam berarti hanya 48 jam. Bayangkan, space 1 kapal itu 2.500-5.000 TeUS, berarti ada sekitar 5.000 truk yang harus masuk. Yang tadinya 5 hari jadi 2 hari, kan nggak mungkin,” jelasnya.
Belum lagi, lanjut Gemilang, karena terbatasnya waktu, akan memicu keterlambatan hingga menyebabkan terkena penalty dwelling time. Hal ini dialami oleh kapal-kapal pembawa barang impor.
“Nah, ini akan merugikan pemilik barang. Karena ujung-ujungnya penalty itu akan dibebankan ke pemilik barang. Penalty itu besarnya 900% dari tarif resmi. Jadi, kalau kapal impor itu bongkar muatannya dikasih waktu gratis selama 3 hari. Tapi kalau lebih dari situ kena denda, penalty, dwelling time. Ini memberatkan pemilik barang,” ungkap Gemilang.
“Jadi, masalah libur panjang ke sektor logistik ini merugikan. Sebaiknya pemerintah kaji lagi. Kalau pegawai pemerintah mau diliburkan cuti bersama, silahkan. Diatur saja. Tapi kalau ke logistik ini merugikan. Ini memang momok,” tambahnya.