Perang antara Israel dan Hamas Palestina belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Pada Sabtu (28/10/2023), Juru Bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf al-Qedra, melaporkan bahwa korban tewas di jalur Gaza telah mencapai 8.700 orang.
Selain korban jiwa akibat serangan dari kedua belah pihak, blokade logistik, listrik, dan air juga dilakukan oleh Israel sebagai tekanan terhadap Hamas. Namun, Hamas masih terus melakukan serangan balasan kepada Israel. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana Hamas mendanai perang ini ketika blokade Israel masih berlaku.
Menurut Victor Asal, direktur Pusat Penelitian Kebijakan dan profesor ilmu politik di Universitas Albany, Hamas memiliki dua sayap yang berperan dalam perlawanannya. Salah satu sayapnya adalah sayap pelayanan sosial yang aktif dalam menggalang dana, namun dana tersebut kemudian dialirkan ke sayap militer.
Ada beberapa cara yang digunakan sayap pelayanan sosial Hamas untuk menghimpun dana, antara lain melalui badan amal yang berafiliasi dengan Hamas. Meskipun badan amal tersebut sebagian besarnya memberikan dana kepada sayap militer Hamas, beberapa tahun terakhir ini Hamas tidak terlalu bergantung pada metode penggalangan dana ini.
Hamas juga mendapatkan dukungan dari Iran, dengan total dukungan mencapai US$70 juta hingga US$100 juta per tahun. Selain itu, Hamas juga mendapatkan pendanaan melalui perpajakan, investasi, penyelundupan, penculikan, dan perampokan di sekitar Jalur Gaza. Transaksi mata uang kripto juga menjadi salah satu sumber pendapatan Hamas, karena dengan menggunakan metode ini, dana yang diterima dapat digunakan untuk tujuan lain.
Setelah Israel mendeklarasikan perang terhadap Hamas, AS telah menjanjikan bantuan kemanusiaan sebesar US$100 juta kepada warga Palestina. Namun, ada kekhawatiran bahwa bantuan tersebut mungkin jatuh ke tangan Hamas karena kendali mereka atas Jalur Gaza.
Sumber: CNBC Indonesia