Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan penjelasan mengenai rencana pembiayaan pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menyatakan bahwa dalam program pensiun dini PLTU, akan digunakan instrumen pembiayaan campuran atau blended finance. Termasuk di dalamnya adalah keterlibatan APBN untuk mendanai program tersebut.
“Pendanaannya campuran, mungkin ada dari grant, hibah, pinjaman, APBN, dan mungkin ada juga dari dana filantropi. Kementerian Keuangan sedang menyusunnya,” kata Dadan di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, pada Rabu (25/10/2023).
Dadan menjelaskan bahwa besaran pembiayaan untuk program pensiun dini PLTU bergantung pada skema yang akan digunakan. Namun, pemerintah berusaha agar penghentian operasional PLTU bisa dilakukan lebih cepat dari rencana awal.
“Skema penjualan atau percepatan penghentian operasional memiliki perbedaan, tergantung pada keekonomiannya. Sekarang ada konsep misalnya phase down, di mana penghentian operasional dilakukan tanpa membongkar PLTU. Itu juga ada konsepnya,” ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 Tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan. Melalui aturan ini, pembiayaan untuk penghentian operasional beberapa PLTU lebih cepat dari rencana awal akan menggunakan APBN.
Setidaknya, dua PLTU yang sudah disebutkan untuk masuk ke dalam program pensiun dini adalah PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon-1. Diperkirakan dibutuhkan biaya sekitar Rp 25 triliun untuk mempercepat penghentian kedua PLTU tersebut, dengan rincian sebesar Rp 12 triliun untuk PLTU Pelabuhan Ratu dan Rp 13 triliun untuk PLTU Cirebon-1.
Salah satu sumber pendanaan yang diharapkan digunakan untuk membiayai pensiun dini PLTU di Indonesia adalah melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar. Inisiatif pembiayaan transisi energi ini berasal dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Jepang, guna membantu Indonesia meninggalkan penggunaan batu bara.