Permasalahan yang Tidak Tuntas di Era Jokowi, Tantangan Besar untuk Presiden Baru

by -94 Views
Permasalahan yang Tidak Tuntas di Era Jokowi, Tantangan Besar untuk Presiden Baru

Debat Kelima Calon Presiden Pemilu 2024 di JCC, Jakarta, Minggu (4/2/2024). – Detik.com

Jakarta, CNBC Indonesia – Industrialisasi menjadi kunci Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2045 mendatang, berdasarkan catatan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas.

Sayangnya, dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah mengalami deindustrialisasi. Persoalan inilah yang menurut para ekonom harus diselesaikan oleh presiden pengganti Presiden Joko Widodo yang habis masa jabatannya setelah dua periode memimpin.

Pada 14 Februari 2024, Indonesia akan memilih presiden baru, yakni calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan, nomor urut 2 Prabowo Subianto, dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo. Salah satu yang terpilih harus menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) ekonomi Indonesia itu, yakni deindustrialisasi.

Deindustrialisasi adalah suatu kondisi industri tidak dapat lagi berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara atau dengan kata lain kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional terus mengalami penurunan.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mencatat rata-rata pangsa manufaktur terhadap PDB di periode kedua Presiden Jokowi mencapai level yang terendah.

Kondisi ini diperkuat dengan data OECD mengenai nilai tambah manufaktur sebagai bagian produksi juga menunjukkan tren penurunan di Indonesia dalam dua dekade terakhir.

Sejak Presiden Jokowi menjabat pada tahun 2014, rata-rata nilai tambah manufaktur adalah sekitar 39,12% hingga tahun 2020, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pada masa Presiden Megawati (43,94%) dan Presiden SBY (41,64%).

LPEM, dalam laporan Proyeksi Kuartal I-2024, menegaskan kondisi ini adalah tanda-tanda deindustrialisasi dini. Kondisi ini memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kurang maksimal alias stagnan di kisaran 5%.

“Sepanjang era Presiden Megawati hingga Presiden Jokowi, sektor manufaktur di Indonesia secara konsisten menyusut dan tumbuh di bawah laju pertumbuhan PDB nasional,” ungkap LPEM dikutip Selasa (13/2/2024).

Senada, ekonom senior yang merupakan salah satu pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri juga mengungkapkan, gejala deindustrialisasi ini juga tercermin dari kontribusi manufaktur terhadap PDB yang terus turun dua dekade terakhir, dari 2002 sumbangannya 32% menjadi hanya 18,3% pada 2022.

“Jadi tinggal 18% padahal industri manufaktur penyumbang sepertiga penerimaan pajak, jadi penerimaan pajak turun, pengeluaran naik, defisit naik, dan arus utang naik,” tegas Faisal.

Faisal menegaskan Presiden Jokowi gagal membangun industrialisasi karena terlalu berfokus mengarahkan investasi pada pembangunan infrastruktur. Sementara itu, investasi di bidang IT, hingga Riset jauh tertinggal dibanding negara lain.

“Investasi di Indonesia sebetulnya tinggi, tapi lihat Indonesia itu temannya Nepal dan Myanmar, investasinya otot, fisik, berupa building and construction jadi bukan otak yang dibangun,” ucap Faisal.

Mengutip data APO Productivity Databook 2022, Faisal menunjukkan komposisi investasi Indonesia mayoritas untuk konstruksi, sebesar 83%. Setara dengan Nepal yang di urutan pertama 85% dan Myanmar 81%.

Untuk IT dan Research and Development (R&D) tak sampai 5% sedangkan investasi lainnya yang non IT hanya di kisaran 10% dan peralatan transportasi di kisaran 3%.

Adapun Thailand kata Faisal investasi infrastrukturnya hanya 32%, sedangkan untuk IT Capital bisa mencapai 13% dan R&D sebesar 4%, peralatan transportasi 25%, dan lainnya non IT 26%.

Demikian juga dengan Malaysia yang investasi IT Capitalnya sudah di posisi 16%, R%D di kisaran 4%, peralatan transportasi 7% dan investasi lainnya non IT mampu mencapai 18%. Sedangkan untuk investasi di sektor konstruksinya sebesar 50%.

China sendiri dengan luas wilayah yang Cukup besar, berdasarkan data Faisal, porsi investasinya untuk sektor konstruksi hanya 63%, untuk peralatan transportasi 9%, IT Capital 7%, R&D 4%, dan lainnya non IT sebesar 17%.

“Bikin ibu kota, LRT, MRT, Kereta Cepat, oke, kita enggak menolak, tapi harus diiringi oleh suntikan otak dalam bentuk IT Capital, other non IT Capital, dan R&D. Ini yang mendukung sustainable pertumbuhan itu,” ujar Faisal.

Ekonom senior sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri juga mengingatkan bahwa upaya industrialisasi yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga baru sebatas hilirisasi atau mendorong industri bertransformasi menjadi pengolahan bahan baku supaya bernilai tambah tinggi.

Chatib menilai hilirisasi hanyalah tahap pertama untuk membangun industri di Indonesia. Sedangkan, untuk mendorong industrialisasi di tanah air Indonesia harus bisa masuk sebagai bagian dari rantai pasok global untuk sebuah produk.

Sayangnya Chatib menilai saat ini pemerintah memang masih fokus pada tahap hilirisasi. Meski demikian, dia meyakini tahapan industrialisasi sudah menjadi bagian dari rencana pemerintah selanjutnya.

“Jadi kita mesti lihat hilirisasi itu, pelarangan ekspor dilakukan agar membuat investornya datang ke sini, tapi kan setelah itu mesti ada industrialisasi kita mesti jadi bagian dari global supply chain,” kata dia.

Meski begitu, sebetulnya tahapan penyelesaian masalah deindustrialisasi ini sudah digariskan Bappenas dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Mekanismenya pun bukan lagi dalam bentuk dorongan untuk hilirisasi sebagaimana digencarkan saat ini.

“Jadi strategi industrialisasi ini akan menjadi di depan, motor penggerak, kebijakan yang lain mengikuti, jadi koheren, sinkron, jadi bukan berarti strategi industrialisasi sendiri, investasi sendiri, enggak semua harus koheren,” kata Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti.

Melalui strategi industrialisasi ini, Bappenas mematok target total kontribusi industri terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan mencapai 28% pada 2045 dari 2025 sebesar 18,7%. Bappenas akan memfokuskan pembangunan industrinya berdasarkan kekuatan sumber daya masing-masing wilayah, sehingga pembangunan proyek-proyek industri tidak lagi serampangan dan kucuran investasi yang dicari akan lebih selektif.

Dalam jangka menengah, pembangunan industri di wilayah Jawa-Bali misalnya akan berbasis kan pasar, memproduksi barang konsumsi, hingga memanfaatkan keunggulan aglomerasi. Selain itu juga akan menjadi pusat jasa modern, pintu gerbang internasional untuk pariwisata, dan menjadi lumbung pangan nasional.

Adapun untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan, industrialisasinya berbasis sumber daya alam dengan memanfaatkan keunggulan komoditas perkebunan dan pertambangan. Selain itu juga didesain sebagai lumbung energi dan pangan nasional, pengembangan pariwisata berbasis alam dan budaya.

Terakhir, untuk wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, industrialisasi akan berbasis sumber daya alam yang perlu mendekati bahan baku, khususnya untuk industri berbasis pertambangan. Selain itu juga didorong untuk peningkatan produktivitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

“Jangan dianggap ini hanya hilirisasi tambang, itu hanya salah satu dari tahapan industrialisasi. Jadi Bappenas akan menyusun konsep industrialisasi yang lebih besar, lebih komprehensif, untuk kita mewujudkan Indonesia Emas 2045,” ungkap Amalia.