Hingga akhir dunia, tidak akan ada akhirnya

by -160 Views
Hingga akhir dunia, tidak akan ada akhirnya

Nusa Dua, CNBC Indonesia – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menilai masalah minyak sawit Indonesia di tanah Eropa tidak akan selesai sampai kapanpun. Sekalipun, hingga hari kiamat tiba.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono saat dijumpai di sela-sela IPOC 2023 di Nusa Dua, Bali, Jumat (3/11/2023).

Pernyataan ini terkait dengan Kebijakan EUDR atau European Union Deforestasion-Free Regulation yang diberlakukan oleh Uni Eropa (EU) di tanggal 16 Mei 2023 lalu. Gapki menegaskan kebijakan ini akan memberikan dampak buruk kepada petani sawit.

Masalah sawit Indonesia di pasar Eropa, menurut Eddy, selalu saja ada masalah dan tidak akan pernah tuntas. Hal ini karena administrasi EU harus memproteksi produksi minyak nabati di dalam negeri.

“Ini kita lihat sampai dengan kiamat pun tidak akan pernah selesai, kenapa? karena mereka juga punya minyak nabati yang mereka harus lindungi,” tegasnya.

Dalam aturan EUDR, wilayah ini memberlakukan benchmarking dengan mengkategorikan negara asal produk, bukan produknya. Contoh benchmarking EDUR yaitu, ‘high risk, mid risk dan low risk’. Kalau Indonesia dikategorikan sebagai high risk country.

“Itu praktis semua komoditi kuat, gak hanya sawit. Ini yang akan menekan kita,” ujarnya. Dengan praktik ini, pembeli komoditas Indonesia dari EU bisa menekan harga. Hal ini, menurutnya, sangat dikhawatirkan oleh pengusaha. Tentunya, negara-negara lain akan berupaya mengejar benchmarking EUDR ini.

“kita sangat appreciate dengan pemerintah, jangan sampe EUDR ini mempersulit, karena gak hanya sawit tapi juga ada kokoa, kayu dan lain-lain,” kata Eddy.

Dia berharap benchmarking ini dilakukan oleh lembaga independen bukan dari sisi EU. Dia menilai Indonesia sebenarnya bukan negara yang masuk ke dalam high risk country. Menurutnya, aturan di dalam negeri Inpres No.5 Tahun 2019 telah menegaskan bahwa korporasi tidak diizinkan untuk membuka lahan sawit baru. Hanya petani kecil yang diperbolehkan.

“Kalau kita lihat ini, moratorium sudah dilakukan sejak 2011, itu tidak menjadi tidak ada masalah. Kalau kita lihat secara undang-undang wajib hutan harus ada 30%. Nah itu dia, kita di atas itu. Kalau dibandingkan Eropa, justru kita di atas mereka,” tegasnya.

“Eropa deforestrasinya tinggi, kita tidak ada apa-apa,” tambah Eddy.

Selain itu, Indonesia melihat adanya kesenjangan antara regulasi EUDR dan kondisi di lapangan yang dihadapi petani sawit sehari-hari.

Hal ini diungkapkan oleh Rizal Afandi Lukman selaku Sekertaris Jendral CPOPC (Council of Palm oil Producing Countries) di IPOC (Indonesian Palm Oil Conference 2023 kemarin, Kamis (2/11/2023).

Menurut Rizal, tantangan terberat bagi petani sawit Indonesia terletak pada ketelusuran atau tracebility karena sebagian besar dari mereka bergantung pada pihak perantara dalam melakukan bisnis, sehingga melacak buah kelapa sawit hingga ke asalnya akan sulit dilakukan.

Tanpa kehadiran EUDR, dia menilai petani sawit Indonesia sudah mengalami tantangan dan masih membutuhkan bimbingan dalam memenuhi kriteria keberlanjutan industri sawit karena manajemen kelompok tani yang belum terorganisir, kurangnya akses pada alat pertanian yang berkualitas dan pendanaan.

“Tidak hanya di Indonesia, namun kebijakan EUDR akan berdampak kepada lebih dari 3 juta petani sawit di seluruh dunia,” ujar Rizal.

[Gambas:Video CNBC]

Artikel Selanjutnya
‘Masih Sendiri-Sendiri, Industri Kelapa Sawit Belum Harmonis’

(haa/wur)