Perang antara Hamas dan Israel: Kemarahan Ratu Arab

by -183 Views

Konflik bersenjata antara Israel dan kelompok pejuang Palestina, Hamas, juga melibatkan Amerika Serikat (AS). Banyak yang berpendapat bahwa Washington bersikap tidak adil dalam menanggapi konflik tersebut.

Dalam 20 bulan terakhir, AS terus mengkritik kekejaman yang dilakukan Rusia di Ukraina. Washington menganggap aksi Rusia tersebut ilegal dan kejam, dengan mengungkapkan bahwa Moskow melakukan pembunuhan terhadap warga sipil.

Namun, hal yang berbeda terjadi di Gaza. Meskipun ribuan orang Palestina telah tewas akibat serangan udara Israel, pemerintah AS yang dipimpin Presiden Joe Biden belum mengeluarkan kecaman terhadap Israel.

Sebaliknya, AS malah membela Israel, dengan menganggap bahwa mereka sedang membela diri dan mengklaim sebagai seorang Zionis. Zionis adalah kelompok yang meyakini bahwa negara Israel harus berdiri di wilayah Bukit Sion yang sebenarnya milik Palestina.

Tindakan ini mulai mendapat reaksi. Salah satunya dari Ratu Rania dari Yordania. Dalam wawancara dengan CNN International, ia mempertanyakan bagaimana AS dan sebagian negara Barat menghadapi serangan Israel terhadap Palestina.

“Beberapa minggu terakhir, kita melihat adanya standar ganda di dunia. Ketika tanggal 7 Oktober terjadi, dunia segera dan dengan tegas mendukung Israel, mencoba membela diri dan mengutuk serangan yang terjadi. Apakah kita diberitahu bahwa membunuh satu keluarga dengan senjata adalah tindakan yang salah, namun tidak masalah jika mereka dibunuh?” ujarnya.

Eskalasi di Gaza terus meningkat setelah Israel membombardir wilayah tersebut. Serangan tersebut dilakukan untuk menghancurkan Hamas yang telah menyerang Israel pada 7 Oktober dan menewaskan 1.400 orang.

Meskipun menyatakan bahwa target serangan adalah Hamas, nyatanya serangan Israel juga melukai banyak warga sipil. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 5.700 korban tewas di Gaza.

Pada hari Senin, sebanyak 400 orang dilaporkan tewas di seluruh Gaza akibat serangan udara Israel selama 24 jam terakhir. Pengeboman terjadi di 25 titik di wilayah Palestina tersebut.

Selain serangan besar-besaran, Israel juga memutus akses bahan logistik, air, dan utilitas ke Gaza. Hal ini mengancam kehidupan warga di sana, karena fasilitas kesehatan kesulitan menangani banyaknya korban dan terbatasnya stok obat-obatan serta listrik.

Para pemimpin Arab juga menyuarakan frustrasi mereka terhadap keengganan AS untuk menghentikan blokade Israel. Yordania, Mesir, dan Otoritas Palestina bahkan memboikot pertemuan puncak yang direncanakan di Yordania dengan Presiden AS Joe Biden.

Kekhawatiran juga timbul bahwa konflik ini dapat meluas ke negara-negara tetangga di Timur Tengah. Israel mendorong warga sipil di utara Gaza untuk pindah ke selatan menjelang operasi darat yang akan dilakukan.

Perintah ini juga mendapatkan penentangan keras dari pemimpin Yordania dan Mesir. Mereka menyatakan bahwa tindakan tersebut bisa menyebabkan perang.

Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa warga Palestina tidak boleh dipindahkan ke Yordania dan Mesir, dan tidak akan menerima pengungsi dari Gaza.

Perkembangan konflik ini perlu mendapat perhatian dunia internasional, terutama dalam menyingkapi standar ganda yang terjadi dalam menanggapi serangan Israel terhadap Palestina.