Chairil Anwar dikenal sebagai salah satu penyair legendaris Indonesia yang memiliki karya puisi yang indah, penuh gejolak, dan berani. Sebagai pelopor Angkatan ’45, ia juga merupakan sosok perlawanan dan perjuangan dalam masa sulit Indonesia. Jejak kehidupan dan warisan karyanya terus abadi, menginspirasi generasi pecinta sastra dari dalam dan luar negeri.
Chairil Anwar lahir di Medan pada tahun 1922, merupakan anak semata wayang dari pasangan Toeloes dan Saleha. Ayahnya adalah mantan ambtenar pada pemerintahan Belanda dan bupati Indragiri, Riau, yang meninggal karena ditembak oleh Belanda. Chairil memiliki hubungan saudara keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia tahun 1945.
Meskipun Chairil tidak menyelesaikan pendidikan formalnya, ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Ia suka membaca karya sastra dunia dan dapat menguasai beberapa bahasa asing. Chairil mulai menekuni dunia sastra pada usia 15 tahun dan debut sebagai penyair pada tahun 1942 dengan puisi “Nisan”. Karya-karya lainnya, seperti “Aku”, “Penghidupan”, dan “Krawang-Bekasi” juga populer di kalangan pembaca.
Dalam berbagai karyanya, Chairil mengangkat tema-tema seperti kemerdekaan, sosial-budaya, eksistensialisme, pemberontakan, kematian, dan cinta dengan bahasa yang lugas, tajam, dan semangat revolusioner. Ia dianggap sebagai pelopor Angkatan ’45 dan puisi modern Indonesia.
Chairil Anwar mengabdikan seluruh hidupnya pada dunia puisi. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di beberapa majalah dan memiliki rencana untuk membuat majalah kebudayaan, namun rencana tersebut tidak tercapai. Chairil meninggal pada tahun 1949 karena penyakit TBC dan dimakamkan di Jakarta.
Pengaruh besar Chairil Anwar terhadap sastra Indonesia membuat pemerintah menetapkan tanggal kematiannya, 28 April, sebagai Hari Puisi Nasional. Kehadiran serta kontribusi Chairil Anwar dalam dunia sastra tetap dikenang dan menginspirasi banyak generasi penulis dan penyair Indonesia.