Di tengah konflik yang telah berlangsung selama dua tahun, Sudan terpecah menjadi dua kekuatan bersenjata yang saling bertikai. Serangkaian kekejaman terbaru di Darfur menunjukkan eskalasi yang mengerikan, dengan lebih dari 200 warga sipil dilaporkan tewas dalam serangan brutal oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di kamp-kamp pengungsian dan sekitar kota El Fasher, yang masih dikuasai oleh tentara Sudan.
Serangan terhadap kota Um Kadadah dan kamp-kamp pengungsi Zamzam dan Abu Shouk juga menjadi sorotan dunia. RSF dipercaya sebagai pelaku utama dalam serangan ini, dengan target terutama warga sipil berdasarkan latar belakang etnis mereka. RSF juga dilaporkan membantai seluruh staf medis dari organisasi bantuan Relief International di kamp Zamzam, menghancurkan infrastruktur kesehatan yang krusial bagi para pengungsi.
PBB menyatakan serangan-serangan ini sebagai tindakan terkoordinasi yang memicu pertempuran sengit dan bencana kemanusiaan baru. Lebih dari 100 orang diperkirakan tewas dalam serangan baru-baru ini, termasuk anak-anak dan staf bantuan. Adam Regal dari Koordinasi Umum untuk Pengungsi dan Orang Terlantar di Darfur mengonfirmasi bahwa kedua kamp masih menjadi sasaran serangan pada saat artikel ini ditulis.
Amerika Serikat telah mengecam kedua belah pihak dalam konflik, menyebut RSF bersalah atas genosida di Darfur. Sementara itu, pemerintah Sudan telah menuduh Uni Emirat Arab terlibat dalam genosida sebagai pendukung lama RSF. Komunitas internasional menyoroti peran UEA dan menuntut pernyataan kecaman yang jelas terhadap kekejaman yang terjadi.
Konferensi tingkat menteri mengenai Sudan yang akan digelar di London diharapkan menjadi titik penting untuk merespons tragedi kemanusiaan ini. Situasi ini membutuhkan respons diplomatik segera, terutama dalam melindungi warga sipil dan menghentikan kekerasan yang terus berlangsung.