Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mengeluarkan peringatan tentang potensi gelombang panas di Indonesia setelah Lebaran. Hal ini terkait dengan berakhirnya periode La Nina dan dimulainya musim kemarau pada bulan April. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa La Nina telah berakhir, yang berarti musim kemarau akan berjalan normal tanpa gangguan. Monitoring indeks IOD dan ENSO menunjukkan bahwa kedua indeks tersebut berada dalam kondisi Netral, dengan prediksi bahwa fase Netral akan berlangsung hingga semester kedua tahun ini.
Musim kemarau di Indonesia telah dimulai sejak bulan Maret dan akan berlanjut hingga April. Beberapa wilayah di Indonesia diprediksi akan terdampak oleh musim kemarau ini. Dwikorita menyatakan bahwa wilayah seperti Lampung bagian timur, pesisir utara Jawa bagian barat, pesisir Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur akan memasuki musim kemarau pada bulan April. Sementara itu, pada bulan Mei, musim kemarau akan meluas hingga mencakup sebagian Sumatra, sebagian besar Jawa Tengah hingga Jawa Timur, sebagian Kalimantan Selatan, Bali, dan Papua bagian Selatan.
BMKG juga memberikan rekomendasi kepada sektor pertanian untuk menyesuaikan jadwal tanam, memilih varietas tahan kekeringan, dan mengelola air dengan baik di daerah-daerah yang diprediksi akan mengalami musim kemarau lebih awal atau lebih lambat. Selain itu, wilayah yang berpotensi mengalami musim kemarau lebih basah diimbau untuk memperluas lahan sawah guna meningkatkan produksi pertanian. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menyebut musim kemarau tahun ini sebagai kondisi iklim normal tanpa pengaruh kuat dari fenomena iklim laut. Meskipun demikian, Ardhasena menekankan bahwa beberapa wilayah di Indonesia masih berpotensi menerima curah hujan musiman yang lebih tinggi dari biasanya.
Dengan demikian, meskipun kondisi iklim global seperti El Nino, La Nina, dan IOD tidak mendominasi, BMKG memprediksi bahwa musim kemarau tahun ini akan berjalan normal dan tidak sekeras tahun 2023. Ardhasena menegaskan bahwa prediksi iklim tahun ini mirip dengan kondisi di tahun 2024, di mana meskipun tidak ada dominasi iklim global yang signifikan, beberapa wilayah masih dapat mengalami hujan yang cukup tinggi.