Kebijakan tarif impor tinggi dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan memberikan dampak besar bagi Indonesia, terutama pada komoditas ekspor seperti minyak sawit mentah (CPO) yang dikenakan tarif sebesar 32%. Para petani dan pelaku industri sawit dalam negeri mulai khawatir dengan konsekuensi dari kebijakan tersebut terhadap harga dan penyerapan tandan buah segar (TBS) dari petani.
Menurut Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, kebijakan tarif yang diterapkan Trump tidak hanya bersifat proteksi ekonomi, namun juga merupakan bagian dari strategi yang lebih kompleks terkait kepatuhan terhadap regulasi dan jejak produksi. Darto mengungkapkan kekhawatiran terhadap kualitas kepatuhan hukum barang-barang Indonesia yang diekspor ke AS, yang kemudian dikenai tarif tinggi sebesar 32%.
Data dari SPKS menunjukkan bahwa ekspor CPO Indonesia ke AS mengalami penurunan sebesar 20% pada Januari 2025 dibandingkan dengan Januari tahun sebelumnya, meskipun saat itu kebijakan tarif masih berupa rumor belaka. Hal ini menunjukkan dampak nyata dari kebijakan tarif Trump terhadap perdagangan CPO Indonesia.
Perlu diingat bahwa saat AS mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008, harga sawit turun drastis hingga Rp100 per kilogram, yang berimbas pada kondisi sosial ekonomi petani. Selain kebijakan tarif dari AS, pemerintah Indonesia juga menerapkan tarif ekspor seperti Pungutan Ekspor (PE) dan tarif Bea Keluar (BK) sawit sebesar US$ 170 per metrik ton, yang semakin membebani petani dan pelaku usaha sawit di tengah pasar global yang sempit.
Menurut Darto, upaya efisiensi seperti mengurangi penggunaan pupuk, jam kerja, dan herbisida bukanlah solusi jangka panjang. Produsen sawit harus tetap memperhatikan keseimbangan produksi agar tidak merugikan pelaku usaha dan petani. Ia juga menekankan pentingnya pemerintah untuk aktif mencari pasar baru, beradaptasi dengan standar global, menurunkan tarif ekspor, dan memperkuat kepastian hukum untuk mendukung keberlangsungan usaha sawit di Indonesia.