Oleh: Prabowo Subianto [dikutip dari “Strategi Transformasi Negara: Menuju Indonesia Emas 2045”, halaman 120-124, edisi softcover ke-4]
Saya berpendapat bahwa masalah ekonomi sebuah negara tidak terlalu berbeda dengan mengelola diri sendiri, rumah tangga, atau bisnis.
Bayangkan bekerja tanpa mengetahui di mana tabungan Anda berada? Anda akan merasa tidak berdaya, bukan? Misalkan Anda dibayar bulanan, tetapi sebagian dari gaji Anda tidak dapat diakses untuk ditabung. Maka, Anda cukup terbatas dalam hal apa yang dapat Anda lakukan.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 diciptakan oleh para pendiri negara kita untuk memastikan negara kita memiliki tabungan yang cukup untuk pembangunan.
Selama kita mengabaikan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, kekayaan kita akan terus mengalir ke luar negeri. Mata uang kita akan tetap lemah, dan ekonomi kita akan menjadi tunduk pada negara lain.
Hal ini perlu berubah; ini harus diperbaiki. “Tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dieksploitasi untuk keuntungan terbesar rakyat.” Ini adalah mandat Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, banyak elit Indonesia pura-pura tidak melihat hal ini. Ada juga intelektual di Indonesia yang pura-pura tidak tahu tentang Undang-Undang Dasar 1945. Mereka berpendapat Pasal 33 sudah ketinggalan zaman, tidak relevan, dan tidak penting. Beberapa berpendapat, “yang penting sekarang adalah persaingan bebas, pasar bebas, globalisasi”. Biarkan semuanya kepada pasar. Beberapa individu kaya akan meneteskan kekayaan mereka. Efek trickle-down.
Memang mungkin ada tetesan, tetapi maafkan saya, mungkin kita semua sudah mati sebelum itu mencapai dasarnya.
Selain itu, setiap kali saya membahas Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, saya sering diejek. Bahkan ada yang mengatakan, “Prabowo berbahaya. Dia akan nasionalisasi segalanya. Dia akan menyita properti para kaya.”
Itu adalah kesalahpahaman. Tujuan saya adalah memperluas ekonomi kita dan memastikan distribusi kekayaan yang lebih adil. Tidak benar jika hanya 1% memiliki kendali atas segala hal, atau entitas asing yang memegang semua kekuatan. Sementara yang kuat melangkah maju, tugas pemerintah adalah mendukung mereka yang kurang kuat.
Prinsip saya adalah hidup dan membiarkan hidup. Bukan hidup untuk diri sendiri. Bukan permainan zero-sum. Bukan saya menang, Anda kalah.
Prinsip saya adalah, saya menang, Anda menang. Kita menang. Saya menginginkan situasi win-win, dan itu adalah inti dari Pasal 33, Ayat 1 hingga 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 33 sangat jelas. Ayat 1 menyatakan, “Ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasarkan prinsip sistem keluarga.”
Ini adalah landasan. Kita tidak boleh berpegang pada keyakinan bahwa yang kuat semakin kuat dengan mengorbankan yang lemah. Pendapat seperti itu tidak sejalan dengan Pancasila atau visi para pendiri negara kita.
Menurut Ayat 1, mereka yang ekonomi nya kuat harus membantu yang lemah. Pemerintah harus menjadi pemimpin, bukan hanya wasit. Harus melindungi kekayaan negara. Jika rakyat tetap miskin, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan mereka. Ini adalah petunjuk dari Undang-Undang Dasar 1945.
Ayat 2 menyatakan, “Sektor produksi yang penting bagi negara dan yang memengaruhi kehidupan rakyat harus dikendalikan oleh negara.” Ini adalah perintah konstitusi Republik Indonesia.
Ayat 3, “Tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan dieksploitasi untuk kemakmuran terbesar rakyat.” Ini bukan hanya keinginan Prabowo, tetapi mandat dari Konstitusi kita.
Saat ini, banyak elit Indonesia telah meninggalkan nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Pancasila sering disebutkan, tetapi tidak dipraktikkan. Hal ini dimungkinkan oleh amendemen Undang-Undang Dasar 1945, yang menambahkan Ayat 4 dan 5 ke Pasal 33. Ayat 4, “Ekonomi nasional akan dijalankan berdasarkan demokrasi ekonomi,” secara mendasar bertentangan dengan Ayat 1 hingga 3, mengarahkan ekonomi Indonesia ke arah ideologi pasar bebas.
Itulah mengapa saya percaya, jika kita benar-benar ingin berjuang menuju negara yang makmur, kita perlu mengidentifikasi dan mengatasi akar masalah ekonomi kita, yang terletak pada perubahan dan pelaksanaan setengah hati dari Pasal 33.
Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu mengembalikan konstitusi kita ke keadaan semula, versi dari 18 Agustus 1945. Dengan demikian, ekonomi Indonesia akan berada di tangan rakyatnya, dan pemerintah akan mengumpulkan tabungan untuk tujuan pembangunan.
Dengan cara ini, pemimpin dan tokoh politik saat ini dapat melampaui sekadar bermimpi. Mereka tidak perlu menjadi ‘pejuang apa yang akan datang’, bercerita besar tentang rencana masa depan tetapi mencapai sedikit karena keterbatasan finansial. Dengan sumber daya yang memadai, mereka akan mampu mencapai lebih banyak hal untuk Indonesia.
Teks Asli, 18 Agustus 1945
(1) Ekonomi akan diatur sebagai usaha bersama berdasarkan prinsip kekerabatan (asas kekeluargaan).
(2) Sektor produksi yang penting bagi negara dan vital bagi mata pencaharian rakyat luas akan dikendalikan oleh negara.
(3) Tanah dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan dikendalikan oleh negara dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan optimal rakyat.
Penambahan dari Amandemen 11 Agustus 2002
(4) Ekonomi nasional akan dijalankan berdasarkan demokrasi ekonomi berdasarkan prinsip kesatuan, efisiensi dengan keadilan, keberlanjutan, wawasan lingkungan, otonomi, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan persatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini akan diatur oleh undang-undang.