LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -94 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer Berdasarkan Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu pergi berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang harus mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah kepada atau memberi suap kepada raja-raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji manfaat ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang teguh dalam pendiriannya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun ia tidak berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, keteguhan dan semangat yang ditunjukkannya untuk mengusir Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sudah cukup untuk memberinya tempat di dalam sejarah.

Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung tidak menyerah pada tawaran yang diberikan oleh VOC meskipun menarik baginya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun penjajahan oleh kekuatan asing. Orang Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang telah pada waktu yang berbeda menjajah Indonesia. Perancis menjajah Indonesia di bawah kepemimpinan Napoleon selama masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa pra-kemerdekaan tersebut, para penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekerasan. Mereka menyulitkan rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan tindakan perang apa pun untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang harus mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi suap kepada raja-raja yang berkuasa. Jika seseorang mengunjungi museum-museum Belanda saat ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum tersebut, seseorang dapat melihat sendiri hadiah-hadiah mewah Belanda kepada para pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk memerintah kepulauan tersebut.

Hadiah-hadiah seperti itu tidaklah sebanding dengan apa yang mereka ambil dari kita. Para penjajah memanfaatkan keluguan beberapa sultan dan raja Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Ada beberapa sultan dan raja yang loyalitasnya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan mereka menolak untuk tunduk pada janji manfaat ekonomi dan perhiasan. Banyak pemimpin idealis ini akhirnya dihadapi oleh rekan-rekan mereka, yang telah dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena terprovokasi, berita palsu, dan upaya membagi dan menjajah (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang teguh dalam pendiriannya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun ia tidak berhasil membebaskan Batavia dari pemerintahan Belanda, keteguhan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa yang lain sudah cukup untuk memberinya tempat yang mulia dalam sejarah. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran mereka sangat menggiurkan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan keempat Mataram yang memerintah dari tahun 1613 hingga 1645.

Beliau adalah seorang sultan dan komandan yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kekaisarannya menjadi kekuatan territorial dan militer yang besar. Sultan Agung dihormati di Jawa untuk perjuangannya membela pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sementara ibunya adalah putri dari Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641 Sunan Agung memperoleh gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Mekah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk mempengaruhi Sultan Agung untuk berkerjasama, namun beliau menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen karena perang panjang melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung tetap menolak berkerjasama dengan VOC.

Sultan Agung mencoba untuk menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pernah berada di bawah kendali Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer Belanda-VOC. Saat itu, Banten telah diserap secara budaya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditaklukkan Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatera pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil mengubah Mataram menjadi sebuah kerajaan besar melalui kekuatan militer, budaya bangsanya yang mulia, dan pembangunan ekonomi, terutama dengan diperkenalkannya sistem pertanian.

Source link