Perbedaan Pendapat Antara Anies dan Prabowo tentang Rencana Pembentukan Badan Penerimaan Negara

by -138 Views

Dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sama-sama ingin membentuk Badan Penerimaan Negara jika mereka menang dalam Pilpres 2024.

Dalam dokumen visi, misi, dan program kerja berjudul “Indonesia Adil Makmur untuk Semua”, Anies-Muhaimin menjadikan pembentukan badan tersebut sebagai bagian dari agenda misi 2 dalam aspek Kelembagaan Keuangan Negara yang berintegritas dan akuntabel, melalui pembagian kewenangan yang harmonis antara instansi pemerintah.

Anies-Muhaimin juga menargetkan peningkatan penerimaan negara dengan cara meluaskan basis dan meningkatkan kepatuhan pajak untuk meningkatkan rasio pajak dari 10,4% pada 2022 menjadi 13,0%-16,0% pada 2029.

Sementara itu, pasangan Prabowo-Gibran juga menyertakan pembentukan badan penerimaan negara sebagai bagian dari 8 program cepat untuk meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23%. Hal ini tertuang dalam dokumen visi, misi, dan program kerja berjudul “Bersama Indonesia Maju”.

Prabowo-Gibran berpendapat bahwa sebagian pembangunan ekonomi harus didanai oleh anggaran pemerintah. Oleh karena itu, diperlukan badan khusus untuk mengoptimalkan penerimaan negara yang bersumber dari pajak dan bukan pajak. Mereka menargetkan bahwa Badan Penerimaan Negara dapat meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB hingga mencapai 23%.

Namun, sejumlah kalangan akademisi mengkritisi rencana pembentukan badan penerimaan negara tersebut. Mereka berpendapat bahwa hal tersebut dapat membuka ruang bagi inefisiensi dalam birokrasi pemerintahan. Selain itu, mereka menilai bahwa kinerja Kementerian Keuangan dengan reformasi birokrasinya sudah cukup baik dalam mereformasi direktorat yang bertanggung jawab terhadap penerimaan negara.

Untuk mengoptimalkan penerimaan negara dan meningkatkan rasio pajak, sejumlah ekonom mengusulkan perbaikan data wajib pajak dan pengurangan beban tarif dan administrasi perpajakan. Mereka berpendapat bahwa rendahnya tarif pajak menjadi faktor kunci untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan negara.

Sebagai alternatif, para ekonom lebih memprioritaskan pemimpin yang fokus pada upaya untuk menurunkan tarif pajak dengan aturan yang jelas. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan multiplier efek yang lebih tinggi dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta peningkatan pendapatan negara.

Artikel Selanjutnya:
Asing Sorot Pilpres RI, Bukan Anies-Prabowo-Ganjar Tapi…