Rusia dinilai memiliki dorongan kuat untuk meningkatkan penggunaan senjata nuklir berkekuatan lebih besar di tengah penguatan pertahanan udara dan persenjataan rudal oleh negara-negara Barat. Analisis dari Royal United Services Institute (RUSI), lembaga kajian pertahanan asal Inggris, mengungkapkan bahwa “strategi nuklir Rusia tampaknya berada di titik kritis”. Laporan tersebut mengindikasikan bahwa Moskow merasa khawatir akan kemampuan Washington dan sekutu NATO untuk melumpuhkan serangan nuklir Rusia dengan adanya penguatan pertahanan udara dan persenjataan rudal jarak menengah.
Kondisi ini mendorong Kremlin untuk mempertimbangkan penggunaan senjata nuklir dalam skala yang lebih besar daripada konsep sebelumnya tentang “serangan terukur”. Presiden Rusia Vladimir Putin telah meningkatkan siaga pasukan penangkal nuklir sejak invasi ke Ukraina pada awal 2022, dengan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov menggambarkan risiko konflik nuklir saat ini sebagai “sangat besar”.
Dalam beberapa pengumuman terbaru, pejabat Rusia menyatakan bahwa mereka tidak akan terikat lagi pada pembatasan rudal nuklir maupun konvensional jarak pendek-menengah. Putin bahkan merencanakan pengiriman rudal balistik jarak menengah Oreshnik ke Belarus pada tahun 2025 setelah uji coba ke Ukraina pada November 2024.
Rusia dan AS diketahui menguasai sebagian besar persenjataan nuklir dunia, dengan perkiraan Barat menyebutkan bahwa Rusia memiliki 1.000-2.000 hulu ledak nuklir taktis, sementara AS memiliki sekitar 200, separuhnya ditempatkan di Eropa. Perjanjian New START yang mengatur senjata strategis seperti rudal balistik antarbenua, rudal kapal selam, dan pesawat pengebom akan berakhir pada 2026, sementara perjanjian INF (Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty) telah berakhir sejak 2019 setelah AS keluar dan menuduh Rusia melanggar kesepakatan.