Korea Utara masih terdampak oleh krisis ekonomi yang berlarut-larut, di mana tingginya tingkat inflasi menyebabkan sebagian besar masyarakat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lonjakan harga telur, gula, daging babi, beras, dan minyak goreng hingga dua kali lipat hingga lima kali lipat selama dua tahun terakhir menjadi dampak terbesar dari keadaan ini. Hal ini disebabkan oleh kekurangan pasokan dan depresiasi mata uang Korea Utara terhadap yuan China dan dolar AS.
Warga Korea Utara bahkan harus membawa tas ransel penuh uang tunai untuk berbelanja, mengingat harga sejumlah produk pangan telah meroket secara signifikan. Misalnya, harga minyak bunga matahari naik hampir tiga kali lipat, sementara harga gula dan daging babi bahkan naik empat kali lipat dan tiga kali lipat. Situasi ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa uang kertas 1.000 won digunakan untuk transaksi harian, sehingga memerlukan sejumlah uang tunai yang besar untuk berbelanja.
Korea Utara telah lama menderita kekurangan pangan yang kronis, menyebabkan sebagian besar warganya berjuang untuk mendapatkan makanan. Kurangnya lahan subur dan akses ke pupuk serta peralatan pertanian modern menjadi faktor utama yang memperburuk situasi pangan negara tersebut. Organisasi Pangan Dunia PBB bahkan menyatakan bahwa pertanian Korea Utara sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga banyak orang terpaksa mengambil langkah ekstrem.
Tentara Korea Utara bahkan dikabarkan terpaksa menjual sebagian peralatan militer mereka demi membeli makanan, menunjukkan tingkat kelaparan dan kemiskinan yang mengkhawatirkan. Dampak dari inflasi yang tinggi ini juga mengakibatkan lonjakan angka pembunuhan dan kekerasan di tengah kondisi kelaparan yang semakin meluas. Sementara program-program bantuan dan upaya penyadaran masih terus berlangsung, dibutuhkan tindakan konkret untuk menangani krisis ini demi mengatasi kondisi yang semakin memburuk di Korea Utara.