Situasi ekonomi Indonesia terus menunjukkan keberdayaan di tengah tantangan global yang berat. Meskipun banyak negara menghadapi risiko resesi akibat perang tarif yang disulut oleh Presiden AS, Donald Trump, Indonesia berhasil mempertahankan stabilitas ekonominya. Pemerintah, legislator, dan kalangan ekonom optimis bahwa dengan pondasi ekonomi yang kokoh, diversifikasi mitra dagang, dan upaya dalam hilirisasi, Indonesia dapat tetap bersaing di pasar global.
Menurut Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, risiko resesi di Indonesia sangat rendah, kurang dari 5%, dibandingkan dengan negara lain seperti Meksiko, Kanada, dan Amerika Serikat. Meskipun ada beberapa isu terkait deflasi menjelang Ramadan dan Lebaran, pemerintah berkomitmen untuk menjaga daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik.
Namun, penurunan impor barang konsumsi dan indikasi rendahnya daya beli masyarakat menjadi perhatian tersendiri. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa penurunan impor barang konsumsi sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan barang di dalam negeri menurun akibat rendahnya daya beli masyarakat.
Meskipun ada isu-isu terkait deflasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kondisi ekonomi Indonesia masih stabil. Berbagai langkah pemerintah dalam menurunkan harga-harga yang diatur pemerintah, serta pertumbuhan positif sektor manufaktur seperti TPT dan alas kaki, memberikan optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Meskipun beberapa ahli ekonomi merasa bahwa kondisi ekonomi Indonesia memburuk, Ketua DPR Komisi XI Misbakhun percaya bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Melalui integrasi kebijakan fiskal dan moneter yang baik, Indonesia dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dengan langkah-langkah yang terukur, Indonesia diharapkan dapat mengatasi tantangan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonominya menuju masa depan yang lebih baik.