Pemerintah tengah merevisi peraturan tentang tarif royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara, yang menuai kritik dari para pengusaha pertambangan karena dianggap akan memperberat industri tersebut. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak akan merugikan industri pertambangan domestik. Sebelum kenaikan tarif royalti diberlakukan, pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap situasi keuangan perusahaan pertambangan terlebih dahulu.
Di samping kenaikan tarif royalti, industri pertambangan juga dihadapkan pada berbagai kebijakan baru dan peraturan lain yang memberatkan termasuk biodiesel B40, kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan Peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mencatat bahwa Indonesia akan memiliki tarif royalti nikel tertinggi di dunia, dimana royalti dihitung berdasarkan harga jual bukan profit, sehingga memberatkan perusahaan tambang.
Kondisi tersebut semakin menekan bisnis industri pertambangan yang harus mematuhi sejumlah kewajiban baru. Pemerintah berencana menaikkan tarif royalti bijih nikel menjadi 14%-19%, meningkat dari 10%. Ada ketentuan regulasi yang mengatur tarif royalti nikel sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2022, yang meliputi bijih nikel dan produk pemurnian nikel dengan persentase tertentu dari harga per ton. Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi pelaku industri pertambangan yang dihadapkan pada serangkaian kebijakan baru.