Mayoritas industri di Indonesia mengalami keruntuhan karena beban yang amat besar bagi para pelaku usaha. Bukan hanya karena barang impor, melainkan juga akibat kondisi internal yang kompleks. Situasi seperti ini harus diwaspadai oleh pemerintah, mengingat dampak yang luas terhadap kehidupan masyarakat kecil dan menengah, termasuk konsumen serta pekerja industri.
Salah satu anggota Dewan terpilih, Bambang Haryo Soekartono (BHS), menekankan pentingnya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi sektor industri dalam negeri agar mencegah arus barang impor yang masuk terlalu banyak. Menurutnya, pemerintah harus memberikan kemudahan kepada pelaku industri, tanpa memberikan beban yang berlebihan. Dengan begitu, industri kecil dan menengah bisa berkembang dan mendukung industri besar, sehingga daya saing produk dalam negeri meningkat.
BHS juga menyoroti skema yang diterapkan oleh beberapa negara, seperti Cina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia, dalam memberikan perlakuan yang baik kepada pelaku industri lokal. Dia mencontohkan bahwa di negara-negara tersebut, proses perizinan dilakukan secara cepat dan tidak memerlukan biaya tambahan, berbeda dengan di Indonesia yang sering kali diwarnai dengan birokrasi yang rumit.
Di sisi lain, tantangan bagi industri di Indonesia juga disebabkan oleh suku bunga bank yang tinggi, biaya energi yang mahal, serta infrastruktur yang kurang memadai. BHS menekankan bahwa pemerintah harus memperhatikan hal ini dengan serius, untuk mendukung pertumbuhan industri dalam negeri. Selain itu, daya beli masyarakat yang melemah juga perlu menjadi perhatian, agar produk lokal bisa lebih diminati dan meningkatkan pangsa pasar.
Pemerintah perlu melakukan introspeksi lebih dalam untuk meningkatkan industri dalam negeri, dengan memberikan insentif pajak, energi, dan bunga bank, serta mendorong penggunaan produk lokal. Dukungan aktif dari pemerintah dan profesionalisme dalam pengelolaan negara akan membantu menciptakan iklim usaha yang lebih baik di Indonesia.