Pensiun PLTU harus Dikaji dengan Mendalam
Keputusan untuk mempensiunkan 13 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Hal ini tidak hanya perlu dipertimbangkan secara teknis dan ilmiah, tetapi juga dari segi ekonomi. Bambang Haryo Soekartono, anggota DPR-RI terpilih 2024-2029, menjelaskan bahwa PLTU masih menjadi salah satu penyuplai listrik terbesar di Indonesia, terutama untuk wilayah Jawa, Sumatera, Bali, dan NTB.
Dengan persediaan daya listrik sebesar 44.939 MW di Indonesia, sekitar 68% diantaranya menggunakan bahan bakar batu bara. Hal ini menunjukkan betapa signifikan peran pembangkit PLTU dalam mendukung pasokan listrik di Indonesia. Program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang merupakan inisiatif dari Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi juga tetap melibatkan pembangkit PLTU.
Namun, penentuan untuk mempensiunkan PLTU haruslah dilakukan secara konsisten dan tidak hanya terfokus pada pembangkit milik PLN saja. Bambang Haryo Soekartono menegaskan bahwa penggantian PLTU haruslah mengakomodasi energi alternatif lainnya seperti energi surya, bio-energy, air, Gheo Thermal, Natural Gas, dan energi angin. Namun, harganya seharusnya lebih terjangkau untuk memastikan ketersediaan listrik yang murah dan efisien bagi masyarakat dan industri.
Dalam hal ini, pemanfaatan sumber energi bersih seperti panas bumi dan energi matahari yang melimpah di Indonesia juga seharusnya dimanfaatkan secara optimal. Program energi bersih haruslah konsisten dan memanfaatkan potensi energi yang tersedia di Indonesia. Hal ini diharapkan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan industri di tanah air.