Pada Agustus 2024, aktivitas industri manufaktur mengalami penurunan secara global. Hal ini terlihat dari angka Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur yang turun di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan bahwa 54,2% negara G20 dan ASEAN-6 mengalami kontraksi atau berada di bawah angka 50 dalam PMI Manufaktur, sementara hanya 45,8% berada dalam zona ekspansi.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan aktivitas manufaktur yang mengalami kontraksi, dengan angka PMI Manufaktur sebesar 48,9. Amerika Serikat dan kawasan Eropa juga mengalami penurunan di level 48 dan 45,8.
Sri Mulyani mengingatkan akan pentingnya kewaspadaan terhadap lesunya aktivitas manufaktur tersebut, karena akan berdampak pada ekonomi domestik. Hal ini terlihat pada penurunan harga komoditas yang mengakibatkan turunnya penerimaan pajak terkait harga komoditas.
Kementerian Keuangan memperkirakan bahwa penerimaan pajak hingga akhir tahun 2024 tidak akan mencapai target yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan oleh kontraksi dalam pembayaran pajak oleh wajib pajak badan.
Di era sebelumnya, Indonesia pernah mengalami pertumbuhan industri manufaktur yang cepat, namun dalam satu dekade terakhir industri tersebut mengalami pelemahan. Kontribusi sektor industri menurun dari 25% pada pertengahan 1980-an menjadi hanya 18% pada 2023.
Masalah industri nasional masih terfokus pada komoditas bukan teknologi tinggi, rendahnya produktivitas, masalah tenaga kerja, dan ketergantungan pada impor untuk komponen dan material industri. Untuk itu, perubahan harus dilakukan di era pemerintahan berikutnya untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing industri manufaktur Indonesia.
Menurut Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini, Indonesia memiliki potensi untuk kembali tumbuh tinggi dengan pemanfaatan sumber daya yang ada. Dengan meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekspor, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.