LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

by -119 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bermimpi untuk mengubah kisah hidupnya menjadi film box office suatu saat nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan dirinya ini memungkinkan kita untuk melewati ujian kemerdekaan pertama kita dan mengubah kita menjadi bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin adalah ujian yang paling sulit setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca diarynya pada tahun 2015, Memoar Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Angkatan Perang, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak mengerti politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Ia salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Ia bagian dari Angkatan Perang Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Mahasiswa Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap pemuda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang pelajar, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira TNI berkemampuan tinggi.

Ia sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangannya yang khas kiri; karena jiwanya yang populistik, terbentuk dari pengalamannya dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama di Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena ia pandai sekolah dan fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Ia melawan Pasukan Sekutu dalam momen-momen kritis dan penting, dari Oktober hingga November 1945.

Ia memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan berdarah yang pernah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata-senjata Jepang, senapan, pistol, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menembakkan meriam tersebut. Namun, kita tahu bahwa banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang meninggalkan tentaranya dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah yang membantu melatih pemuda-pemuda kita untuk menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti pesawat. Semuanya itu diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, ia menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka berniat merebut senjata-senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisi saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya sadar bahwa saya bukan siapa-siapa, hanya salah satu prajurit di antara massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niat untuk maju bersama untuk mengalahkan musuh. Kami semua adalah pemuda-pemuda dari desa-desa. Pakaian kami menunjukkan betapa miskinnya kami.

Setelah merebut senjata-senjata, Hario Kecik mendirikan Pasukan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), cikal bakal korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat bulan Oktober 1945, merupakan ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Benar, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, diproklamasikan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya saat Pertempuran Surabaya. Mereka menguji apakah rakyat Indonesia mendukung proklamasi kemerdekaan sepenuhnya.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 orang Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris tewas dan terluka.

Kami memiliki 30.000 korban terutama karena superioritas Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Pasukan Inggris mengerahkan lebih dari satu divisi, yang jumlahnya sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal perang, dan meriam. Anda dapat membayangkan kekuatan dan kekuatan tembak mereka yang superior dibandingkan dengan orang Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita dapat melihat bahwa semua pihak di pihak Indonesia bersatu. Pemuda-pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua bergabung. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit-unit perlawanan. Beberapa bergabung dengan batalyon-batalyon yang akhirnya membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri mereka menjadi batalion-batalion resmi. Mereka adalah mantan batalyon PETA. PETA adalah tentara sukarelawan yang diselenggarakan Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Polisi Negara Republik Indonesia. Ada juga front pemuda, pasukan dasar dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari murid-murid madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari para pelajar, termasuk Hario Kecik dan rekannya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok pada masa itu.

Kembali kepada Hario, saya terkesan bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi apa pun yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam atmosfer yang sulit untuk dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, spirit, kemarahan beku di hati-hati pemuda yang berkumpul di tempat tersebut hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa suasana. Itu dimulai saat saya bersama dengan para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, waktu kami mendengar kapal-kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kami sulit untuk dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, benteng yang lemah, dan faktor-faktor lain. Namun, para pemuda bertekad untuk mempertahankan markas tersebut sampai kelelahan.

Akhirnya, setelah ‘pikiran intelektual’ saya kalah oleh ‘emosi’ atau ‘spirit’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya punya beberapa jam untuk mempersiapkan diri.

Malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dan lainnya. Kami sudah siap, dan tidak ada seorang pun yang meragukan.

Kami menyaring strategi yang rumit menjadi satu motto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang mempertanyakan kekuatan musuh, dan tidak ada yang mempertanyakan kekuatan kami. Mungkin bawah sadar, kita semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat khawatir tentang hal itu. Kami harus bertempur melawan musuh besok.

Membaca memoar ini membuat bulu kuduk saya merinding. Sebagaimana semangat itu menjadikan kita mampu mempertahankan kemerdekaan kita. Sebagaimana semangat itu menjadikan kita melewati ujian kemerdekaan pertama kita dan menyatukan kita menjadi bangsa. Itu mungkin adalah ujian paska-kemerdekaan yang paling sulit.

Saya selalu membayangkan bagaimana jika saya bisa berada di Surabaya saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan rekannya? Itu adalah beberapa pertanyaan yang selalu saya tanyakan kepada diri saya sendiri.

Oleh karena itu, setiap kali saya memberikan kuliah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia yang teladan.

Pahlawanisme yang diwujudkan oleh Hario Kecik sangat jelas. Ia memberikan contoh bagi generasi-generasi selanjutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link