LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

by -133 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [RADEN MAS TUMENGGUNG ARIO SOERJO (GOVERNOR SURYO)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Bung Tomo sering diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dapat membangkitkan semangat dan menggelora, namun Gubernur Suryo juga merupakan seorang orator yang berbakat. Pidatonya menandai dimulainya perang sejarah untuk Surabaya.

Bayangkan ini. Gubernur Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Dia bukan personel militer. Tetapi dia mengerti bahwa dia memiliki tanggung jawab sejarah untuk bertahan. Dia memahami peran kepemimpinannya: Seorang pemimpin harus sopan, harus mempertahankan kehormatan bangsa. Dia mewakili rakyatnya. Dia telah menunjukkan contoh yang baik kepada generasi muda tentang bagaimana seorang pemimpin membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela tanah airnya.

Gubernur Suryo merupakan bagian integral dari peristiwa pada 10 November 1945. Dia adalah di balik keputusan memulai Pertempuran Surabaya, salah satu peristiwa sejarah paling penting yang pernah dilawan oleh rakyat Indonesia. Ini adalah pertempuran dahsyat antara arek-arek Suroboyo, yang terdiri dari anak muda dan siswa madrasah Surabaya, melawan Tentara Inggris. Ini adalah peristiwa pahlawan dalam pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah begitu sulit diraih.

Pertempuran besar melawan pemenang Perang Dunia II berlangsung selama tiga minggu, menelan korban lebih dari 16.000 pejuang Indonesia dan mengungsikan 200.000 warga sipil. Pertempuran besar dan ganas ini diperingati setiap 10 November di Indonesia sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Surabaya dimulai oleh kematian Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby, yang tewas dalam baku tembak antara pejuang Indonesia dan pasukan Inggris pada 30 Oktober 1945. Ini merupakan penutup dari pertempuran hampir seminggu antara Brigade yang dipimpin oleh Mallaby dan pasukan Indonesia di Surabaya. Mallaby membuat kesalahan besar dengan membagi brigade-nya menjadi unit tingkat peleton yang menduduki banyak pos terpencil di Surabaya. Pada saat itu, unit-unit bersenjata Indonesia berjumlah puluhan ribu setelah merebut ribuan senjata dari Jepang. Ada yang merupakan pasukan resmi. Ada yang merupakan sukarelawan. Ada juga yang merupakan geng bersenjata. Oleh karena itu, peleton-peleton ini tidak dapat membela satu sama lain karena mereka terlalu terpencar di kota sebesar Surabaya. Brigade itu dibasmi sebagai kekuatan terorganisir. Aksi-aksi ini memuncak pada pembunuhan Mallaby. Tentu saja, ini mempermalukan Inggris. Mereka marah. Mereka menuntut agar para pembunuh ditangkap, dan unit-unit Indonesia dinonaktifkan.

Inggris marah atas kematian jenderal mereka, menuntut agar para pelaku ditangkap.

Serangkaian pertemuan yang dilakukan oleh Komandan Divisi ke-5 Tentara Inggris, Mayor Jenderal Robert C. Mansergh, dengan Gubernur Jawa Timur, berakhir dengan kebuntuan.

Akhirnya, setelah salat Jumat pada 9 November 1949, Tentara Inggris mengeluarkan ultimatum dengan menjatuhkan pamflet dari udara agar semua penduduk Surabaya membacanya. Ultimatum tersebut menuntut agar semua pemimpin perlawanan Indonesia menyerah dan bahwa semua warga Indonesia yang tidak diizinkan membawa senjata menyerahkan senjata mereka. Semua wanita dan anak Indonesia diperintahkan untuk meninggalkan kota untuk Mojokerto dan Sidoarjo.

Batas waktu yang diberikan untuk ultimatum itu adalah pukul 18. Jika perintah itu tidak dipatuhi, Tentara Inggris bersumpah akan menghancurkan seluruh kota. Tentu saja, ultimatum tersebut menciptakan kepanikan di kalangan penduduk Surabaya. Tetapi kelompok pemuda militan yang dipimpin oleh Bung Tomo, yang awalnya menolak tuntutan Inggris, menyatakan bahwa mereka siap untuk berperang.

Gubernur Suryo meminta penduduk Surabaya untuk tetap tenang karena mereka harus menunggu perintah dari Jakarta. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Bung Karno kemudian menyerahkan keputusan tentang bagaimana merespons sepenuhnya kepada rakyat Surabaya.

Pada saat-saat kritis itu, Gubernur Suryo harus membuat keputusan penting yang akan menentukan masa depan Surabaya dan, dengan demikian, Indonesia. Keputusannya akan menunjukkan kepada dunia apakah Indonesia adalah bangsa besar yang mampu menahan serangan militer besar-besaran oleh pasukan asing. Bangsa yang ksatria ini tidak takut pada siapapun, termasuk kekuatan super seperti Inggris, untuk membela kedaulatannya. Atau, jika dia memutuskan untuk menerima ultimatum, Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang ditaklukkan, bangsa yang dipermalukan, bangsa yang merendahkan diri di bawah ultimatum yang dikeluarkan oleh pasukan asing, dan menyerah sebelum pertempuran dimulai. Keputusan besar ini adalah hak tunggal Gubernur Suryo untuk membuatnya.

Saat mendekati batas waktu yang ditetapkan oleh Inggris, Gubernur Suryo menyampaikan keputusan bersejarah kepada rakyat Surabaya melalui radio. Berbeda dengan Bung Tomo, pidatonya tidak bernada marah. Namun, pidato singkat yang disampaikan dengan tenang itu cukup kuat untuk memobilisasi semua orang yang mendengarkannya untuk bersenjata membela Surabaya.

Di sisi lain, Bung Tomo diakui sebagai pemimpin revolusioner yang dikenal karena orasinya yang membangkitkan, Governor Suryo dengan nada tenang namun tegas juga memiliki kekuatan yang sama. Pidato Governor Suryo sebagai ‘teriakan pertempuran’ pertama yang menandai dimulainya pertempuran bersejarah ini. Kita hanya bisa membayangkan emosinya saat dia berbicara kepada rakyat Surabaya.

Ini bahkan lebih sulit dipahami, mengingat Governor Suryo bahkan bukan seorang prajurit. Namun, dia sepenuhnya mengakui perannya sebagai seorang pemimpin: Seorang pemimpin harus berani membuat keputusan sulit dan bertindak tegas dalam membela kehormatan tanah airnya. Dia mewakili rakyatnya. Dia adalah harapan rakyatnya. Begitulah kualitas kepemimpinan hebat yang telah ditunjukkannya kepada generasi muda.

KAMI LEBIH MEMILIH HANCUR DARIPADA DIJAJAH LAGI!

Saudara-saudari,

Pemimpin kita di Jakarta telah berusaha sekuat tenaga untuk mengatur perkembangan di Surabaya. Tetapi sayangnya, semua itu sia-sia. Sekarang terserah kita, rakyat Surabaya, untuk memutuskan langkah selanjutnya. Semua upaya kita untuk bernegosiasi telah gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan bangsa kita, kita harus mempertahankan dan menegaskan tekad kita untuk menghadapi segala kemungkinan.

Berkali-kali kami menyatakan posisi kami: Kami lebih memilih hancur daripada direkolonisasi. Sekarang, di hadapan ultimatum Inggris, kita akan bertahan pada pendirian itu. Kita akan tetap teguh menolak ultimatum tersebut.

Menghadapi setiap kemungkinan esok, mari kita semua menjaga persatuan antara pemerintah, rakyat, angkatan bersenjata (TKR), kepolisian, pemuda dan organisasi perlawanan di masyarakat. Marilah kita berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa agar diberikan kekuatan, Berkah-Nya, dan Petunjuk-Nya dalam pertempuran ini.

Selamat berjuang!

Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo

Source link