GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -85 Views
GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

Pak Harto adalah orang yang sangat disiplin, bekerja keras, dan detail. Saya menyaksikan kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari dia tiba di kantor tepat pukul 08:00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisan rapi dan ingatan yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat baik dalam hal angka. Dia juga seorang pembaca yang rajin. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah bersekolah di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau jarang terlihat marah. Jika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak ingin berbicara dengan orang yang marah. Itulah sebagian kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Pada saat itu, saya adalah seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Pertama kali adalah pada tahun 1976 ketika saya adalah Komandan Plato dari Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Mayor Infanteri Yunus Yosfiah. Kedua kalinya adalah pada tahun 1978, ketika saya menjadi Komandan Kompi Para Commando yang bernama Chandraca 8. Pasukanku saat itu adalah pasukan serangan langsung yang langsung di bawah komando komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk. Saat itu, Kolonel Infanteri Sembiring adalah Komandan Resimen Tempur 18 (RTP 18) dengan Brigade Infanteri KOSTRAD Linud 18 sebagai intinya. Sementara Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk adalah Komandan Resimen Tempur 6 (RTP 6), dengan Brigade Infanteri KOSTRAD 6 sebagai intinya. Pak Harto adalah orang yang sangat disiplin, bekerja keras, tepat waktu, dan detail. Saya beruntung bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari beliau. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Dia tiba di kantornya tepat pukul 08:00 pagi. Pukul 01:00 siang, dia sudah berada di rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pukul 19:00 dari hari Senin hingga Jumat, dia menerima tamu. Dia makan malam pada pukul 21:00. Lalu pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke studinya. Studinya sangat kecil. Meja juga sangat kecil. Memang, jika kita membandingkannya dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya, rumahnya relatif lebih kecil. Kamar tidurnya tidak dekat dengan kamar mandi. Itu sebabnya studinya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan folder di meja beliau yang bisa mencapai 40-50 sentimeter tingginya. Saya dengar dari ajudan beliau bahwa setidaknya ada 40 folder dan surat yang dibacanya dan ditandatanganinya setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam sajalah tidak akan menemukannya di mejanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara itu, dia akan bangun pukul 04:30 pagi atau paling lambat pukul 05:00. Kadang-kadang dia hanya mendapatkan 3-4 jam tidur. Ini berlangsung selama puluhan tahun. Kita hanya bisa membayangkan betapa rajin dan detailnya dia. Kualitas unik lainnya adalah tulisan tangan rapi dan ingatan fotografinya. Dia juga sangat mahir dalam hal angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat menjadi Komandan Batalyon Infanteri Udara 328/KOSTRAD, saya pergi menemuinya. Saat itu, dia mengisahkan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun suatu batalyon tempur. Dia menceritakan pengalamannya sebagai Komandan Anak Buah, Komandan Plato, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia membagikan banyak teknik dan praktik praktis serta hal-hal yang sangat detail. Bahkan dia bisa mengingat tingkat pendidikan dari setiap bawahan lamanya. Saya terkagum-kagum mendengarkannya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan militer dan 35 tahun setelah tugas-tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengendalikan agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga isu politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalionnya selama puluhan tahun, masih bisa dengan jelas mengingat pembentukan, rekrutmen, dan pelatihan unit tentara mulai dari tingkat anak buah, Plato, Kompi hingga Batalyon. Saya menerapkan pelajaran yang diberikannya kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Itulah yang membuat Batalyon 328 sangat andal dan diakui banyak orang sebagai salah satu batalyon yang paling tajam selama bertahun-tahun. Yang juga khas dari dirinya adalah dia sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah Nusantara. Pak Harto banyak mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran-ajaran kuno dan filsafat Jawa. Hal ini wajar karena semua pendidikannya berlangsung di Indonesia, di kampung halamannya desa Kemusuk di Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para sarjana Jawa dari abad-abad terdahulu. Filsafat yang paling sering diajarkannya adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; selain dari ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat berguna. Ini adalah kumpulan aforisme, ajaran, dan pepatah. Buku beliau sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan hanya slogan semata. Bagi banyak orang, mereka menjadi panduan untuk hidup sukses, panduan untuk hidup bahagia di dunia ini. Ini juga menjadi panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka menjadi suara kebijaksanaan yang dipertahankan dari zaman ke zaman. Oleh karena itu, bagi mereka yang mengikuti ajaran-ajaran tersebut dapat memanfaatkan kebijaksanaan leluhur kita, nenek moyang dan sesepuh kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melakukan operasi di Timor Timur. Satu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu anak buah saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Sudah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima TNI memanggil seseorang sebelum melaksanakan misi, Pak Harto akan memberikan mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini dapat digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban atas para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, dia menemui saya dan bertanya apakah benar bahwa saya akan melaksanakan operasi keesokan harinya. Saya menjawab ya. Lalu beliau berkata, ‘Saya hanya punya tiga nasihat untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpan dalam hatimu dengan baik!” Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut menggenggam kedua tangan saya di atas kepala saya sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dia lakukan kepada anak-anak, cucu-cucu, dan orang-orang yang dicintainya, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu di ruang operasi, yang kami sebut ruang Yudha, War Room. Mereka menunggu kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya memberitahu mereka bahwa saya hanya bertemu dengan Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat itu, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, sesaat, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena daripada menerima dana, saya hanya diberikan tiga nasihat. Namun, selama perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya merenungi tiga nasihat yang diberikan oleh seorang Panglima yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah perintis dan pelaksana Gerakan 1 Maret yang berhasil merebut kembali kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir 1948. Bahkan, saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penumpasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam menggagalkan pemberontakan PKI G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat Pak Harto tentu saja harus memiliki makna yang sangat dalam. Pertama, ojo..

Source link