Membayar Bunga Lebih Besar dari Dana Pendidikan Diprediksi

by -121 Views

Krisis utang sedang melanda dunia, termasuk negara-negara pasar berkembang atau Emerging Markets. Bahkan, isu ini menarik perhatian Paus Fransiskus dalam Pertemuan Vatikan yang diadakan tahun ini dan dihadiri oleh para ekonom dan bankir terkemuka dunia.

Dalam pertemuan dengan tema ‘Krisis Utang di Global Selatan’ pada 5 Juni lalu, Paus Fransiskus menyampaikan kepada bankir dan ekonom bahwa negara-negara termiskin di dunia terbebani oleh utang yang tidak dapat dikelola, sementara negara-negara kaya perlu memberikan lebih banyak bantuan. Negara-negara pasar berkembang mengalami tekanan utang publik sebesar US$ 29 triliun. Sebanyak 15 negara dalam kategori ini menghabiskan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga daripada untuk pendidikan, menurut laporan terbaru Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB. Sebanyak 46 negara mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk pembayaran utang daripada layanan kesehatan.

Krisis utang saat ini merupakan yang terburuk dalam sejarah ekonomi global modern. Selain dari belanja pemerintah yang berlebihan dan kurang tepat, fenomena global yang tidak terkendali oleh banyak negara juga memperburuk masalah utang mereka. Pandemi Covid-19 membuat bisnis berhenti dan pendapatan pekerja turun, sementara biaya kesehatan dan bantuan sosial meningkat. Konflik di berbagai negara juga menyebabkan kenaikan harga energi dan pangan, sementara bank sentral meningkatkan suku bunga untuk membendung inflasi. Pertumbuhan global juga melambat.

Paus Fransiskus kembali memperkenalkan gagasan Kampanye Yobel untuk tahun 2025. Sebagai kardinal di Argentina yang mengalami kekacauan keuangan pada tahun 2001, Paus Fransiskus lebih memahami penderitaan akibat krisis utang. Selain mengkampanyekan penghapusan utang, Paus Fransiskus juga menyerukan transformasi sistem keuangan global. Namun, banyak ekonom dan pembuat kebijakan merasa bahwa mekanisme dan lembaga yang ada saat ini, termasuk IMF, tidak mampu lagi menangani krisis utang saat ini.

Konflik antara China dan AS semakin mempersulit penyelesaian krisis utang. Tidak ada lembaga internasional yang memiliki wewenang atas semua pemberi pinjaman, sehingga proses restrukturisasi utang menjadi sulit. Masalah krisis utang semakin menyulitkan negara-negara yang terlilit utang, apalagi ketika pertumbuhan ekonomi melambat.

Situasi ini sangat mengkhawatirkan, terutama bagi negara-negara berkembang yang sulit membiayai sektor-sektor penting seperti pendidikan, infrastruktur, teknologi, dan layanan kesehatan. Menurut IMF, sekitar 60% negara berpendapatan rendah berada dalam risiko tinggi terkait utang. Diperlukan triliunan dolar tambahan untuk melindungi negara-negara rentan ini dari perubahan iklim dan mencapai tujuan iklim internasional.

Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom Bank Dunia, mengatakan bahwa meskipun program pengampunan utang digulirkan sejak tahun 2000, masalah utang terus memburuk hingga saat ini. Perubahan dalam struktur pinjaman dan mekanisme restrukturisasi utang baru diperlukan. Krisis utang perlu diatasi dengan solusi yang berani dan kreatif agar negara-negara yang terkena dampak dapat pulih secara berkelanjutan.