Jakarta, CNBC Indonesia – Fenomena kenaikan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah mata uang dunia membawa risiko bagi perekonomian AS. Hal ini terkait dengan persaingan perdagangan produk domestik AS dengan negara lain.
Dolar telah menguat sebesar 4% sepanjang tahun ini. Fundamentarnya menunjukkan kemungkinan apresiasi lebih lanjut.
Ini dapat berdampak negatif bagi pelaku usaha di AS. Depresiasi mata uang negara Asia seperti yuan China akan membuat produk dari China menjadi lebih terjangkau di pasar AS.
“The Economist” menyatakan bahwa dolar yang kuat cenderung meningkatkan harga ekspor AS dan menurunkan harga impor, yang akan memperluas defisit perdagangan negara tersebut.
Di sisi lain, penguatan dolar memberikan keuntungan bagi eksportir yang memiliki biaya operasional dalam mata uang asing. Namun, suku bunga tinggi AS dan dolar kuat menyebabkan inflasi impor, terutama dengan harga minyak yang relatif tinggi.
Banyak negara memiliki cadangan devisa yang besar dan bisa dijual untuk menguatkan mata uang mereka. Namun, tindakan ini hanya bersifat sementara. Bank sentral dunia juga diyakini belum mengambil langkah konkret ketika Federal Reserve AS mulai menaikkan suku bunga pada tahun 2022.
Salah satu opsi lain adalah koordinasi internasional untuk menghentikan penguatan dolar. Pada tanggal 16 April, menteri keuangan AS, Jepang, dan Korea Selatan menyatakan keprihatinan terhadap penurunan nilai yen dan won.
AS akan menggelar pemilihan umum pada tahun ini. Baik Partai Demokrat maupun Republik berusaha untuk mempromosikan manufaktur AS. Namun, dolar yang kuat tidak akan mampu menahan arus impor yang tinggi, terutama dari China.
Beberapa pihak menilai China tidak akan terlalu aktif terhadap situasi ini. Goldman Sachs melaporkan bahwa China mengalami arus keluar modal sebesar US$ 39 miliar pada bulan Maret karena investor meninggalkan negara tersebut akibat kondisi perekonomian yang lesu.
Yuan China terus melemah terhadap dolar sejak awal tahun ini, terutama setelah pertengahan Maret. Bank of America memperkirakan yuan bisa mencapai 7,45 pada bulan September. Hal ini akan membuat yuan mencapai posisi terlemahnya sejak tahun 2007 dan memberikan dorongan bagi upaya ekspor China.
Pendukung kebijakan proteksionis di AS mungkin akan mengabaikan tekanan terhadap mata uang sekutunya untuk sementara waktu. Namun, situasi ini meningkatkan risiko perang tarif dan sanksi dagang lebih lanjut.
Selama perekonomian AS terus membaik, dolar kemungkinan akan tetap kuat. Namun, ketika pemerintah AS mendeteksi potensi risiko, ketegangan perdagangan pun akan meningkat.