Transisi energi dan pengurangan gas rumah kaca sangat penting karena menyangkut keberlangsungan umat manusia di bumi. Jika kita tidak mengurangi emisi gas dengan segera, suhu rata-rata bumi akan terus meningkat dan bumi bisa menjadi tempat yang tidak dapat dihuni manusia karena kekeringan, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca ekstrem. Oleh karena itu, permasalahan greenflation, yaitu inflasi yang dipicu oleh kebijakan hijau, adalah topik yang sangat penting untuk dipelajari oleh para pemimpin kita.
Kita ingin hidup secara hijau, namun pada biaya apa, siapa yang membayar, dan dengan konsekuensi seperti apa? Berapa biaya tambahan yang diperlukan, siapa yang akan membayar, dan bagaimana dampaknya?
Kita dapat menjadikan Shanghai sebagai contoh. Di sana, pajak untuk kendaraan non-listrik mencapai Rp. 300 juta. Saat ini, hampir 100% motor, 100% bus, dan 50% mobil di Shanghai adalah kendaraan listrik. Sehingga, langit di Shanghai menjadi biru dan kota menjadi lebih sunyi. Pertanyaannya adalah: Apakah rakyat Indonesia dapat menanggung pajak pendaftaran kendaraan bermotor sebesar ini untuk mempercepat elektrifikasi?
Kita juga dapat meniru negara-negara Eropa. Harga listrik di sana sekitar € 28 per 100 kWh, atau setara dengan Rp. 4.760 per kWh. Saat ini, banyak negara Eropa yang mayoritas listriknya berasal dari energi terbarukan, sedangkan Indonesia masih mengandalkan listrik dari batu bara yang lebih murah, dengan harga sekitar Rp. 1.400 per kWh. Pertanyaannya adalah: Apakah rakyat Indonesia dapat menanggung kenaikan harga listrik hingga 3 kali lipat untuk mempercepat transisi energi?
Faktanya, jika kita tidak melakukan transisi energi dan hidup secara hijau, maka keberlangsungan kehidupan di muka bumi terancam. Namun, juga fakta bahwa sebagian besar rakyat Indonesia belum mampu menanggung inflasi atau biaya tambahan yang diakibatkan oleh kebijakan hijau. Karena itu, penting bagi kita untuk memilih pemimpin yang memahami dan tidak menganggap remeh topik ini.
Sumber: https://prabowosubianto.com/memahami-greenflation-topik-penting-yang-dipelajari-gibran-namun-disepelekan-mahfud/