Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengadakan proses penyidikan in absentia atau tanpa kehadiran tersangka untuk pertama kalinya. Proses penyidikan ini dilakukan oleh Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II pada Kamis (26/10/2023).
Menurut akun Instagram @ditjenpajakri, penyidikan ini dilakukan terkait tindak pidana di bidang perpajakan yang menyebabkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 2,74 miliar. Tindak pidana tersebut dilakukan melalui PT BBM dan PT RPM.
“Penyidikan in absentia perpajakan pertama di Indonesia telah dilakukan oleh penyidik Kanwil DJP Jawa Timur II,” demikian dikutip pada Selasa (7/11/2023).
Proses penyidikan ini dilakukan oleh Kanwil DJP Jawa Timur II dengan menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang bukti atau tahap II atas tindak pidana di bidang perpajakan kepada penuntut umum di Kejaksaan Negeri Bojonegoro dan Kejaksaan Negeri Sidoarjo.
Kegiatan penyerahan tahap II ini dilakukan tanpa kehadiran tersangka, yang dikenal dengan istilah in absentia. Kegiatan ini merujuk pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Dalam ketentuan tersebut, sebenarnya disebutkan bahwa penyidik pajak wajib melakukan upaya maksimal untuk menghadirkan tersangka dalam proses penyidikan dan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti.
Namun, apabila tersangka tidak memenuhi panggilan sebanyak dua kali dan tidak memberikan alasan yang patut dan wajar, maka penyidik wajib mengumumkan pemanggilan tersebut pada media berskala nasional atau internasional.
Selain itu, penyidik juga dapat mengusulkan tersangka masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan meminta bantuan kepada pihak berwenang untuk mencatatnya dalam red notice.
Setelah berbagai upaya tersebut dilakukan secara maksimal, dan hasil penyidikan dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum, maka penyidik pajak dapat melakukan tahap II secara in absentia.
Dalam kasus di Kanwil DJP Jawa Timur II, tersangka berinisial SLM yang merupakan penanggung jawab PT BBM dan PT RPM sebelumnya telah dilakukan upaya maksimal untuk menghadirkan yang bersangkutan dalam pemeriksaan di penyidikan dan penyerahan tahap II.
Berdasarkan keterangan di website DJP berjudul “DJP Lakukan Penyidikan In Absentia Perpajakan Pertama di Indonesia”, tersangka disebut tidak memenuhi panggilan yang dilakukan secara sah oleh Penyidik sebanyak dua kali dan tidak memberikan alasan yang patut dan wajar.
Penyidik pun melakukan pengumuman pemanggilan tersebut pada media berskala nasional. Tersangka SLM juga telah diusulkan dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, penyidik juga telah melakukan permohonan pencegahan ke luar negeri dan permintaan bantuan kepada Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mencatatnya dalam red notice.
“Keberadaan tersangka tidak ditemukan setelah dilakukan upaya maksimal sehingga dilakukan penyerahan tahap II tanpa kehadiran tersangka (in absentia),” demikian dikutip dari keterangan tersebut.
SLM ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana di bidang perpajakan melalui PT BBM dan PT RPM, yaitu dengan sengaja menggunakan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya, menyampaikan SPT Masa PPN yang tidak benar, dan/atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut ke kas negara sesuai dengan Pasal 39A huruf a, Pasal 39 ayat (1) huruf d, dan/atau Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Tindakan SLM dilakukan dalam kurun waktu Januari 2018 hingga Desember 2019 sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 2,37 miliar melalui perbuatan pidana dengan PT BBM dan sebesar Rp 377,49 juta atas perbuatan pidana dengan PT RPM.
Terhadap tersangka SLM, telah dilakukan penyitaan aset berupa rumah tersangka di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah senilai Rp 500 juta.
Akibat perbuatan pidana tersebut, tersangka diancam dengan hukuman penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun serta denda minimal 2 kali dan maksimal 4 kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
Karena keberadaan tersangka (DPO) tidak ditemukan, maka pemeriksaan oleh penyidik tidak dapat dilakukan. Hal ini menjadi salah satu penyebab sulitnya berkas perkara dinyatakan lengkap oleh penuntut umum (P-21) dan/atau tidak dapat dilaksanakannya penyerahan tahap II kepada penuntut umum.
Penanganan tindak pidana di bidang perpajakan tanpa kehadiran tersangka dan/atau terdakwa telah diatur dalam Pasal 44D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022.